Friday, July 20, 2007

KOMPOSTER KERANJANG TAKAKURA

Dikembangkan oleh Bapak dan Ibu Djamaludin, Taman Karinda
Bandung, Jl. Alfa 92 Cigadung, 20 Juli 2007

Foto: Sobirin, 2007, Keranjang Takakura

Oleh: Sobirin


Pengomposan cara ini sangat bermanfaat untuk para mahasiswa, bujangan, keluarga kecil, karena bisa ditempatkan di dalam kamar, apartemen, atau di dalam rumah biasa.


Dalam kunjungan saya ke rumah Bapak dan Ibu Djamaludin, pemilik taman kompos Karinda, di Lebak Bulus, Jakarta, saya mendapat ilmu baru, yaitu membuat kompos murah dengan wadah keranjang plastik.

Pengomposan cara ini sangat bermanfaat untuk para mahasiswa, bujangan, keluarga kecil, karena bisa ditempatkan di dalam kamar, apartemen, atau di dalam rumah biasa.


Menurut Ibu Djamaludin, konsep membuat kompos dengan keranjang ini diperkenalkan oleh Mr. Takakura pada saat pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga di Pusdakota Surabaya. Rupanya ini pengalaman praktek Mr. Takakura sendiri di Jepang. Jadi keranjang ini dikenal sebagai Keranjang Takakura.


Keranjang plastik semacam di gambar foto, mudah didapat di toko atau pasar yang menjual barang-barang kelontong rumah tangga. Ukurannya hanya sekitar 50 liter, biasanya digunakan untuk keranjang wadah pakaian kotor sebelum dicuci.


Caranya begini:


Pertama, cari keranjang berukuran 50 liter berlubang-lubang kecil (supaya bangsanya tikus tidak bisa masuk). Jangan lupa kalau membeli keranjang plastik ini berikut tutupnya.


Kedua, cari doos bekas wadah air minum kemasan, atau bekas wadah super mi, asal bisa masuk ke dalam keranjang. Doos ini untuk wadah langsung dari bahan-bahan yang akan dikomposkan.


Ketiga, isikan ke dalam doos ini kompos yang sudah jadi. Kalau sebelumnya anda tidak membuat kompos sendiri, anda minta saja ke teman anda yang punya persediaan kompos yang siap pakai. Tebarkan kompos ke dalam doos selapis saja setebal kurang lebih 5 cm. Lapisan kompos yang sudah jadi ini berfungsi sebagai starter proses pengomposan, karena di dalam kompos yang sudah jadi tersebut mengandung banyak sekali mikroba-mikroba pengurai. Setelah itu masukkan doos tersebut ke dalam keranjang plastik.


Keempat, bahan-bahan yang hendak dikomposkan sudah bisa dimasukkan ke dalam keranjang. Bahan-bahan yang sebaiknya dikomposkan antara lain:
Sisa makanan dari meja makan: nasi, sayur, kulit buah-buahan. Sisa sayuran mentah dapur: akar sayuran, batang sayuran yang tidak terpakai. Sebelum dimasukkan ke dalam keranjang, harus dipotong-potong kecil-kecil sampai ukuran 2 cm x 2 cm.

Kelima, setiap hari bahkan setiap habis makan, lakukanlah proses memasukkan bahan-bahan yang akan dikomposkan seperti tahap sebelumnya. Demikian seterusnya. Aduk-aduklah setiap selesai memasukkan bahan-bahan yang akan dikomposkan. Bilamana perlu tambahkan lagi selapis kompos yang sudah jadi.


Anehnya, doos dalam keranjang ini lama tidak penuhnya, sebab bahan-bahan dalam doos tadi mengempis. Terkadang kompos ini beraroma jeruk, bila kita banyak memasukkan kulit jeruk. Bila kompos sudah berwarna coklat kehitaman dan suhu sama dengan suhu kamar, maka kompos sudah dapat dimanfaatkan.


Catatan: khusus untuk komposter Keranjang Takakura ini, upayakan agar bekas sayuran bersantan, daging dan bahan lain yang mengandung protein tidak dimasukkan ke dalam doos. Mengingat starter-nya telah menggunakan kompos yang sudah jadi, maka MOL (mikroba loka) tidak digunakan.

Read More..

Wednesday, July 18, 2007

HARI LINGKUNGAN DI KOTA BANDUNG

Apa yang telah anda lakukan untuk Kota Bandung kita ini?
Diperingati pada 18 Juli 2007 di Taman Tegallega

Foto: Sobirin 2006, Hutan Kota Bandung, Taman Cilaki

Oleh: SOBIRIN

Warga kota mengkritik persampahan Kota Bandung, tetapi 90% warga masih tidak peduli dengan pengelolaan sampah rumah tangganya (kalau di rumah saya sudah “zero waste”, sampah rumah tidak dibuang ke luar rumah).



SAMBUTAN DARI AKTIVIS LINGKUNGAN


Ass. Wr. Wb.

Sampurasun,

Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada setiap tanggal 5 Juni telah ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak tahun 1972. Kemudian tiap tahun di tiap negara di dunia ini memperingati Hari Lingkungan ini dengan tujuan menanamkan kesadaran bahwa kehidupan akan berkelanjutan, bila lingkungan hidup ini kita lestarikan. Kota Bandung memperingati Hari Lingkungan Hidup sedunia ini tidak pas pada tanggal 5 Juni yang lalu. Tidak apa-apa, karena pada hakekatnya setiap hari kita harus sadari sebagai pelaksanaan hari lingkungan.

Kalau kita membaca dan mendengar berita di media massa, selalu saja warga Kota Bandung ini mengeluhkan dan mengkritik banyak hal tentang ketidak-nyamanan Kota Bandung, misalnya:
Kota Bandung semakin panas dan berdebu,
Kota Bandung kekurangan pohon,
Kota Bandung lautan sampah,
Kota Bandung sungainya sekarat, dan lain-lainnya.

Hampir seluruh warga mengkritik perihal lingkungan Kota Bandung yang kita cintai ini. Tetapi kalau kemudian kita balik bertanya kepada diri kita masing-masing: Apa yang telah kita lakukan untuk Kota Bandung tercinta ini? Apa yang telah anda lakukan untuk Kota Bandung tercinta ini?

Ambil contoh tentang sampah Kota Bandung. Warga kota mengkritik persampahan Kota Bandung, tetapi 90% warga kota masih tidak peduli dengan pengelolaan sampah rumah tangganya (kalau di rumah saya sudah “zero waste”, sampah rumah tidak dibuang ke luar rumah). Warga kota mengeluhkan Kota Bandung kekurangan pohon, tetapi faktanya Ruang Terbuka Hijau Privat Kota Bandung (yaitu Ruang Terbuka Hijau di halaman atau pekarangan milik warga) masih sangat minim (kalau di halaman rumah saya, ada 10 pohon lebih).

Peringatan Hari Lingkungan Hidup tahun 2007 ini Indonesia memilih tema ”Iklim Berubah, Waspadalah terhadap Bencana Lingkungan”.
Apakah benar iklim herubah? Hasil penelitian para ahli iklim memang mengatakan iklim sedang berubah. Perubahan iklim telah menyebabkan berbagai persoalan lingkungan seperti perubahan pola curah hujan yang telah mengakibatkan banjir dan longsor ataupun musim kemarau berkepanjangan, serta munculnya berbagai macam penyakit menular.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita harus melakukan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim ini. Kalau mengurangi ancaman bencana dengan mitigasi, kalau mengurangi dampak perubahan iklim dengan adaptasi. Apa upaya adaptasi ini? Salah satunya adalah membangun kembali iklim mikro Kota Bandung dengan memperbanyak penanaman pohon sebagai pelindung kota. Iklim mikro adalah iklim yang terdapat disekitar dan dibawah rerimbunan pohon itu sendiri, semakin banyak pohon akan semakin handal iklim mikro kota, dan diyakini dapat menjadi benteng terhadap dampak perubahan iklim. Seperti kita lihat sekarang, Tegallega menjadi kawasan dengan iklim mikro yang baik, sehingga banyak pengunjung menikmati suasana kesegaran kota.

Adaptasi terhadap perubahan iklim ini telah tersirat dalam UU No. 26 Th. 2007 tentang Penataan Ruang. Secara khusus UU ini mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di perkotaan, yang proporsi luasannya ditetapkan paling sedikit 30% dari luas wilayah kota, yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Seluas 20% harus dibangun oleh Pemerintah Kota disebut sebagai Ruang Terbuka Hijau Publik, sisanya 10% harus dibangun oleh warga di halaman atau pekarangan milik warga disebut sebagai Ruang Terbuka Hijau Privat.

Walaupun masih ada kendala di sana-sini, Kota Bandung telah berupaya menjalankan politik pro lingkungan melalui berbagai program antara lain menjaring aspirasi masyarakat terhadap lingkungan (jasmara lingkungan), menjalankan konsep pendidikan lingkungan di sekolah melalui muatan lokal lingkungan hidup. Yang masih harus terus ditekankan kepada warga Kota Bandung adalah supaya setiap warga Kota Bandung: mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, harus mau berbudaya lingkungan. Menurut saya, budaya lingkungan dan adaptasi terhadap perubahan iklim harus menjadi budaya seluruh warga Kota Bandung untuk mewujudkan visi Kota Bandung menjadi Kota Jasa yang Bermartabat.

Perlu kita ingat bersama bahwa Kota Bandung pernah memiliki julukan-julukan yang indah, misalnya:
A Paradise in Exile ( abad 18),
Bandung Excelsior (1856),
The Sleeping Beauty (1884),
De Bloem van Bersteden (abad 19),
Parisj van Java (1920),
Intellectuelle Centrum van Indie (1921),
Staatkundig Centrum van Indie (1923),
Europe in de Tropen (1930),
Bandung Kota Kembang (1950-an),
Bandung Ibu Kota Asia-Afrika (1955)

Sekali lagi: untuk mewujudkan visi Kota Bandung menjadi Kota Jasa yang Bermartabat, kita balik bertanya kepada diri kita masing-masing: Apa yang telah kita lakukan untuk Kota Bandung tercinta ini? Apa yang telah anda lakukan untuk Kota Bandung tercinta ini? Mari kita prak, prung, der, melestarikan lingkungan hidup Kota Bandung tercinta ini.

Hidup Kota Bandung!
Sekian dan terimakasih,
Ws.Wr. Wb

Read More..

Sunday, July 8, 2007

GAGAL MEMBUAT KOMPOS?

Bandung, Jl. Alfa 92, Cigadung II, 8 Juli 2007
Foto: Sobirin, 2006, Ketika saya gagal membuat Kompos
Oleh: Sobirin

Gagal membuat kompos, lalu putus asa? Jangan! Mari kita coba terus, tanya kiri, tanya kanan, baca referensi. Tetapi paling baik adalah terus dipraktekkan, belajar dari kegagalan.


Saya ingat sewaktu Pa Ipong (putera mendiang Jenderal Witono) memberi tahu saya mengenai kata-kata petuah yang diperolehnya dari Abah Iwan Abdurachman (budayawan, penyanyi, pencinta lingkungan). Abah Iwan juga mendapat petuah ini dari gurunya, dalam bahasa Sunda begini: nyaho can tangtu ngarti, ngarti can tangtu bisa, bisa can tangtu tuman, tuman can tangtu ngajadi. Artinya kurang lebih: tahu belum tentu mengerti, mengerti belum tentu bisa, bisa belum tentu menjadi kebiasaan, sudah biasa belum tentu berhasil. Kata-kata petuah tadi memang sangat dalam artinya, jadi ketika awal-awalnya saya gagal dalam hal membuat kompos, saya ingat kata-kata petuah tadi, bahwa ketika itu saya belum memahami masalah perkomposan.

Setelah dua kali berkunjung ke tempat pengomposan Bapak dan Ibu Djamaludin di Komplek Bumi Karang Indah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan (Taman Karinda), maka saya tahu mengapa saya gagal dalam membuat kompos. Saya diberitahu Bapak dan Ibu Djamaludin dan diberi catatan-catatan supaya tidak gagal lagi dalam membuat kompos, antara lain begini:

Masalah 1:
Bila dalam proses pengomposan, berbau amonia

Penyebab:
Terlalu banyak bahan-bahan daun-daun hijau (terlalu banyak nitrogen)

Solusi:
Tambah bahan daun-duan kering berwarna coklat, dan diaduk-aduk


Masalah 2:
Berbau tengik seperti telur busuk, atau berbau asam

Penyebab:
Terlalu lembab, atau kurang udara, sehingga yang terjadi adalah pembusukan bukan proses penguraian

Solusi:
Diaduk sampai bau hilang, tambahkan bahan-bahan berwarna coklat (daun kering, serbuk gergaji, dedak) hingga kelembaban hilang


Masalah 3:
Mengempal, dan berbau telur busuk

Penyebab:
Kurang udara, terlalu lembab, atau terlalu basah

Solusi:
Tambahkan bahan coklat, dan diaduk hingga baunya hilang


Masalah 4:
Kering

Penyebab:
Kurang air

Solusi:
Diberi air, dibasahi, sambil dibolak-balik, diaduk-aduk


Masalah 5:
Terlalu basah

Penyebab:
Terlalu banyak air, bahan kompos terlalu basah, kehujanan, tidak cukup udara

Solusi:
Tambahkan bahan coklat, dibolak-balik, diaduk-aduk.


Masalah 6:
Panas tidak merata, atau bahkan dalam proses pengomposan tidak timbul panas

Penyebab: Wadah tempat pengomposan terlalu kecil, atau tumpukan bahan kompos terlalu sedikit, bahan dipotong kecil-kecil ukuran 3 cm-an.
Solusi:
Ukuran wadah atau tumpukan bahan kompos minimum 50 cm x 50 cm x 50 cm, idealnya 1 m x 1 m x 1 m. Ukuran lebih kecil juga bisa, misalnya memakai karung, asal bahan dipastikan dipotong kecil-kecil 3 cm-an.


Masalah 7:
Tidak ada perubahan yang terjadi, tidak ada panas yang timbul

Penyebab:
Kurang bahan hijau, kurang udara, kurang lembab, bahan tidak dicacag (dipotong kecil-kecil ukuran 3 cm-an)

Solusi:
Pastikan bahan hijau cukup banyak, bahan dipotong kecil-kecil ukuran 3 cm-an, selalu diaduk-aduk, basahi dengan air dan MOL


Masalah 8:
Banyak lalat, serangga, dan belatung

Penyebab:
Ada sampah daging, ikan, susu, santan, sayuran busuk, terlalu banyak sampah dapur yang tidak diseleksi, dan tidak ditutup dengan baik.

Solusi:
Dicampur atau ditutupi dengan selapis tanah, serbuk gergaji, dedak, atau ditutupi dengan selapis kompos yang sudah jadi (kompos matang)


Masalah 9: Dikais-kais tikus, kucing, anjing
Penyebab:
Ada sisa daging, ikan, atau makanan busuk

Solusi:
Bila ada sisa daging atau ikan dalam proses pengomposan agar diambil, disingkirkan, agar kemudian diaduk-aduk kembali, dibuat wadah sedemikian rupa agar binatang tidak bisa masuk, lubang-lubang harus tetap ada untuk sirkulasi udara, tetapi cukup ukuran kecil2 saja.


Demikian saran-saran Bapak dan Ibu Djamaludin, yang kemudian saya praktekkan, dan akhirnya walaupun cara membuat mikroorganisme-nya beda, tetapi hasilnya sukses.

Read More..