Saturday, August 25, 2007

PAPAYA KUNING WANGI KARENA KOMPOS

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 26 Agustus 2007
Foto: Sobirin 2007, Papaya Kuning Wangi

Oleh: Sobirin
Saya lebih senang makan papaya kuning dari pada papaya merah jingga. Rasanya lebih lembut, manis dan lebih wangi. Jaman saya kecil dulu tahun 1950-an, jenis papaya yang banyak dijual di pasar adalah papaya kuning.


Kemudian baru tahun 1962-an populer papaya merah jingga. Itu di kampung saya dulu, di kota Magelang. Papaya merah jingga ini kalau di kampung saya dulu dikenalnya sebagai “gandhul jinggo”, karena warnanya yang merah ke-jingga-jingga-an.

Sekarang papaya merah jingga yang ukurannya besar sering disebut papaya Bangkok. Pokoknya yang besar-besar dan bagus-bagus sering diberi label Bangkok.

Karena saya lebih senang papaya kuning, saya sering ke pasar mencari buah ini. “Eta mah papaya kanggo manuk pa.., cobi taroskeun ka tukang manuk”, itu kata penjual buah-buahan di pasar. Katanya papaya kuning adalah papaya burung, karena lebih banyak dikonsumsi burung piaraan. Tapi di tukang burung juga tidak mudah mendapatkannya. “Harus pesan dulu pa…!”, kata tukang burung.

Begitu saya mendapatkan buah papaya kuning, maka bijinya saya selamatkan untuk disemai dan ditanam.

Sewaktu saya tanam di halaman rumah samping, bibit pohon papaya ini berkembang kurang baik, mungkin kualitas bijinya jelek, mungkin tanahnya yang kurang baik. Tetapi setelah saya kompos dan saya siram dengan MOL yang telah dicairkan, pokoknya tiap hari dirawat, akhirnya pohon papaya ini tumbuh gagah dan subur. Lihatlah buahnya, banyak sekali. Buahnya selalu menjadi rebutan antara saya dan kelelawar. Terlambat sedikit saja dipetik, maka buah yang menguning akan disantap oleh “juragan” kelelawar di malam hari.

Read More..

ASYIKNYA PANEN KOMPOS

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 25 Agustus 2007
Foto: Sobirin 2007, Panen Kompos dari Komposter Bata Terawang
Oleh: Sobirin


Sudah agak lama saya tidak panen kompos. Karena saya akan mencoba menanam tanaman jenis baru lagi, maka kompos yang saya buat di komposter bata terawang saya panen.




Asyiik!
Kompos ini cukup bagus, warnanya coklat kehitaman, keberadaannya seperti tanah biasa, teksturnya halus.
Saya hanya mengambil kira-kira 5 pengki (alat untuk menyerok sampah), beratnya kira-kira setara dengan 5 kg.

Cara panennya sangat mudah. Komposter bata terawang yang saya buat memang memudahkan segalanya. Bahan-bahan kompos dimasukkan dari atas, yang kemudian ditutup dengan plastik, kemudian kalau panen lewat lubang dibagian bawah. Lubang bagian bawah ini ditutup dengan lembaran beton tipis yang mudah dibuka untuk lubang pemanenan (lihat foto)

Kompos hasil panenan saya aduk dengan tanah dengan jumlah yang sama dengan kompos tadi. Kemudian saya tuangkan di dalam pot drum.
Diaduk dengan air dan ditambahkan MOL (mikro organisme lokal) buatan sendiri. Maka siaplah untuk ditanami dengan tanaman yang kita kehendaki. Saya memilih tanaman sausin dan bawang. Semoga tumbuh subur.

Sebenarnya tiap hari kita bisa panen kompos, asal tiap hari pula kita membuat kompos. Proses pengomposan dengan bahan organik pekarangan dan MOL sampah dapur sebagai starter, kurang lebih memerlukan waktu 3 minggu.


Mau panen kompos? Silahkan membuat komposnya dulu. Menebar organik, memuai kompos!

Read More..

Wednesday, August 22, 2007

KREASI YANG BELUM SEMPURNA

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 22 Agustus 2007
Foto: Sobirin 2007, Alat Pencacag Daun
Oleh: Sobirin
Untuk memperoleh kompos yang baik dan prosesnya bisa 3 minggu-an, maka salah satu syarat adalah ukuran bahan kompos sebaiknya kecil-kecil, kurang dari 3 cm. Kebanyakan para peng-hobby pembuat kompos menggunakan bedog (golok) untuk mencacag bahan kompos berupa daun-daun coklat dan hijau.

Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa bedog tadi mampir ke jari-jari kita. Padahal bedognya cukup tajam. Saya pernah mengalami kejadian itu, kuku telunjuk kiri saya kena bedog. Untung (masih untung), bedognya agak tumpul. Jadi ujung telunjuk menjadi bengkak, dan selama 1 bulan warna kuku menjadi hitam.


Bagaimana mencari akal? Kalau ada alat pemotong rumput, jenis yang didorong, dan sudah tidak terpakai, mungkin bisa dimodifikasi untuk alat pencacag daun. Dulu saya punya pemotong rumput yang sudah rusak, tapi sayangnya sudah saya jual ke tukang loak.


Kemudian saya mencoba mendisain rencana alat pemotong daun. Prinsipnya seperti alat pemotong rumput, yaitu dengan besi tipis yang di-las melengkung pada dua roda (kiri dan kanan), dan berfungsi sebagai gunting. Bagian tengah roda dipasang as, yang disambungkan dengan alat pemutar. Unit gunting ini kemudian dimasukkan dalam kotak dari plat besi.


Semua tadi dari barang-barang rongsokan. Ongkos yang keluar hanya untuk tukang las saja Rp. 50.000,-. Kalau kita bisa menge-las sendiri, ya tidak keluar biaya. Hasilnya lihat di-foto.

Daun-daun bisa dicacag sampai ukuran kurang dari 3 cm.
Namun demikian, saya masih belum puas dengan alat ini. Kreasi yang belum sempurna. Memang hasilnya bagus, tidak bakal kena golok. Tapi alat ini suka macet.

Silahkan teman-teman, bapak-bapak, ibu-ibu lihat dengan seksama foto alat ini, dan silahkan disempurnakan. Syukur kalau alat ini dapat dibuat otomatis yang disambung dengan dinamo. Jadi tidak capai memutar engkol.

Read More..

Tuesday, August 14, 2007

BUDAYA JOROK DAN EGOIS

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 14 Agustus 2007
Foto: Sobirin 2007, Buang Sampah Sembarangan
Oleh: Sobirin

Manakala kita sedang gencar-gencarnya mempromosikan rumah “zero waste”, rumah tanpa sampah, sampah rumah tangga tidak dibuang keluar rumah, masih ada juga orang yang tega membuang sampah sembarangan.



Coba kita amati perilaku warga Kota Bandung, banyak yang membuang sampah rumahnya di malam hari, dibungkus dengan kantong plastik keresek, lalu dibuang dimana saja. Mereka ini penganut faham NIMBY, "not in my backyard". Buang saja sampah dimana saja, asal tidak dihalaman rumah sendiri. Itu kata mereka si jorok, si egois! Lihat fotonya, saya foto malam hari tanggal 14 Agustus 2007 di depan rumah saya! Enak saja membuang sampah di jalan depan rumah saya.


Banyak lagi warga elit yang naik mobil mewah (juga para tetamu dari luar kota), yang dengan sembarangan membuang sampah dari dalam mobilnya. Orang kaya tapi berbudaya rendahan!


Saya amati masih 90% atau lebih warga Kota Bandung yang tidak bermartabat. Padahal BERMARTABAT adalah motto Kota Bandung, Bersih-Taat-Makmur-Bersahabat. Mana bisa Kota Bandung bisa mencapai visi: “Menjadi Kota Jasa yang Bermartabat” kalau sebagian besar warganya masih berbudaya jorok dan egois!


Sebaliknya, warga yang jumlahnya kurang dari 10% yang katanya telah mampu memproses sampah rumah tangganya sendiri dan tidak membuang sampah rumah keluar rumah, ternyata harus lebih giat lagi meningkatkan sosialisasi, komunikasi dan dialog agar para warga lainnya menjadi berbudaya bersih. Pokoknya jangan bosan-bosan deh!


Bener-bener kebangeten itu orang, seperti kuda saja, buang kotoran sembarangan! Sebel pisan saya! Mari kita ajak mereka yang jorok dan egois ini untuk menjadi sadar dan berbudaya hidup bersih. Demi Kota Bandung kita tercinta!

Read More..

Saturday, August 11, 2007

BUDAYA BERSIH MASIH OMONG KOSONG

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 11 Agustus 2007
Gambar: Sobirin dan Free Clip Arts, Organisasi Kompos
Oleh: Sobirin

Membuat kompos masih merupakan sekedar musiman. Begitu ada masalah persampahan di kota yang macet, sampah menumpuk di setiap sudut kota, barulah kita sadar akan konsep 3R (reduce, reuse, recycle). Begitu urusan sampah di kota beres-beres saja ketika Dinas Kebersihan Kota “sedang ingat”, kita lupa lagi akan 3R. Lalu kembali membuang sampah di mana saja.

Perilaku ini saya amati terutama di Kota Bandung. Selama ini saya mencatat lebih dari 75% warga kota masih tidak peduli akan sampahnya (malah mungkin mendekati 90%). Tetapi begitu sampah mulai menumpuk di mana-mana, mereka-mereka yang tidak peduli ini yang paling gencar protes tentang manajemen sampah kota yang katanya amburadul. Akhirnya Wali Kota Bandung, Dada Rosada, barangkali saking sebelnya, membuat ide untuk membangun pabrik sampah menjadi energi listrik (PLTSa) di Kawasan Gedebage. Ide ini langsung menuai protes dari warga yang tidak setuju.

Memang Kota Bandung ini unik: Kota Bandung berada di Cekungan Bandung yang sensitif secara alami, sebagian warganya tidak peduli akan sampahnya, ide PLTSa dari Wali Kota menuai protes, mencari TPA (tempat pengolahan sampah akhir) selalu ditolak warga di sekitar Kota Bandung, menunggu konsep Provinsi Jawa Barat tentang pengolahan sampah terpadu Cekungan Bandung ternyata tidak pernah terealisasikan, dan tiap hari produksi sampah kota tidak pernah berhenti.

Solusi paling baik adalah membangun kesadaran warga supaya mengelola sampahnya sejak di rumahnya masing-masing. Lagu lama, tapi sulit diimplementasikan. Tingkat kesadaran warga masih sangat, sangat-sangat, rendah. Banyak informasi tentang konsep mengelola sampah rumah tangga, sosialisasi cara membuat kompos, rapat-dialog-komunikasi warga tentang cara membuat kompos. Tetapi tetap saja sepulangnya pertemuan tidak dipraktekkan di rumah masing-masing. Mungkin penegakan hukum persampahan harus dibuat dan dijalankan dengan konsekwen!

Akar masalah: tidak peduli!

Akar masalahnya di mana? Setelah saya amati memang kebanyakan hampir di semua rumah tangga, para anggota keluarga “merasa” masing-masing “sangat” sibuk. Ada yang sibuk kerja, sibuk kuliah, sibuk ngajar, bahkan banyak pula yang sibuk “ngalamun”. Kesimpulan pokoknya: “Urusan sampah bukan urusan saya!”.

Kalau kita menuntut tiap rumah tangga harus mampu mengelola sampahnya sendiri, sampah rumah tidak di buang keluar rumah, maka di tiap rumah tangga harus ada manajemen sampah rumah tangga yang baik dan handal. Ada yang bertanggung jawab dan sekaligus menjadi pelaksananya. Boleh bapaknya kalau mau, atau ibunya kalau tidak sibuk. Mungkin anak sulungnya kalau tidak kuliah, atau anak bungsunya kalau mau. Kalau semua tidak mau dan tidak peduli, karena merasa sudah membayar iuran untuk mengangkut dan membuang sampah ke TPS (tempat pembuangan sampah sementara), maka jangan harap Kota Bandung akan bersih dari sampah!

Membangun budaya perlu paksaan

Tidak semua paksaan jelek. Membangun budaya kebaikan juga perlu paksaan. Paling tidak memaksa diri sendiri untuk berbuat baik. Saya alami di rumah saya sendiri. Begitu semua anggota tidak peduli terhadap sampah di rumah, maka saya “terpaksa” turun tangan sendiri. Saya angkat pembantu saya, mang Endut, menjadi asisten saya. Yah untuknya perlu sekedar “reward”, supaya tidak setengah-setengah. Tugas mang Endut adalah membantu saya menyelesaikan persampahan dan perkomposan di rumah, terutama bila saya sedang sibuk (ca'i lah!)

Pokoknya di setiap rumah harus ada yang bertanggung jawab. Juga bila diperluas di lingkungan Rukun Tetangga dan Rukun Warga perlu ada yang bertanggung-jawab. Supaya budaya bersih Kota Bandung tidak hanya omong kosong, memang perlu ada paksaan, reward and punishment, sanksi berat bila ada yang membuang sampah sembarangan. Kan sudah ada Perda K3 (Ketertiban, Kebersihan, Keindahan)!

Read More..