Friday, January 25, 2008

MOL PEUYEUM REAKTIF UNTUK STARTER KOMPOS

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 25 Januari 2008
Foto: Sobirin 2008, Kompos dengan MOL Peuyeum: Bagus!

Oleh: SOBIRIN
Setelah MOL peuyeum selesai saya buat, saya mencobanya untuk starter pengomposan. Ternyata MOL peuyeum ini bagus, cepat bereaksi sebagai starter kompos. Bahan kompos yang tadinya hijau dan coklat, dalam sehari sudah menghitam dan menghangat.


Komposter areob saya hanya satu, yaitu yang model bata terawang ukuran 1x1x1 meter kubik. Saat saya akan mencoba membuat kompos dengan MOL peuyeum, maka terpaksa saya menggunakan keranjang sampah terbuat dari anyaman bambu, ukuran kira-kira 50 cm x 50 cm x 50 cm. Keranjang bambu ini tidak rapat, udara bisa masuk, jadi bagus sebagai komposter aerob.

Bahan-bahan kompos yang digunakan adalah daun-daun segar hijau dan daun-daun kering coklat yang ada di halaman rumah. Bahan-bahan tadi dicacag kecil-kecil ukuran 3 cm-an. Lalu dimasukkan ke dalam keranjang tadi.


Setelah itu siramkan MOL peuyeum yang dicampur air secukupnya, tetapi tidak encer, masih agak pekat-pekat sedikit. Bahan kompos yang telah disiram MOL peuyeum diaduk-aduk agar MOL-nya merata.
Kemudian keranjang ditutup dengan karung goni, bagusnya karung goni yang bolong-bolong.

Karena saya meletakkan keranjang komposter ini di halaman terbuka, maka saya tutupkan plastik agar tidak kehujanan.
Hari esoknya saya coba membukanya. Ternyata hasilnya sangat bagus.

Pada hari pertama saja, bahan-bahan kompos yang tadinya hijau dan coklat telah berubah menjadi kehitaman dan suhunya hangat-hangat panas.
Saya menilainya sangat bagus, diharapkan tidak lebih dari 3 minggu nanti, kompos dengan MOL peuyeum ini selesai berproses dan bisa dimanfaatan.

Mari kita coba membuat kompos dengan cara ini, supaya rumah kita bersih dari sampah dengan memproses sendiri.

Read More..

MOL TAPAI ATAU MOL PEUYEUM LEBIH BERSIH

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 25 Januari 2008
Foto: Sobirin 2008, MOL Tapai atau MOL Peuyeum

Oleh: SOBIRIN
Banyak yang bertanya cara membuat Mikro Organisme Lokal (MOL). Setelah diberi penjelasan bahannya dari sampah dapur yang membusuk atau bahan lain yang berjamur, kebanyakan mundur karena jijik, bau. Berikut saya membuat MOL yang relatif bersih, dari tapai atau peuyeum.



MOL adalah kumpulan mikro organisme yang bisa “diternakkan”, fungsinya dalam konsep “zero waste” adalah untuk “starter” pembuatan kompos organik. Dengan MOL ini maka konsep pengomposan bisa selesai dalam waktu 3 mingguan.


Dalam blog ini beberapa waktu lalu telah banyak saya uraikan cara-cara membuat MOL yang gratisan, yaitu dari bahan sampah dapur yang mudah membusuk, sayur kemarin yang basi. Bisa juga dari bahan lain misalnya keong sawah yang ditumbuk, buah nenas yang busuk. Tinggal pilih bahan yang paling mudah didapat disekitar kita. Setelah bahan dipilih dari salah satu di atas, kemudian dimasukkan ke dalam drum plastik, dan diberi air, hingga bahan tenggelam. Setelah 4 atau 5 hari MOL ini sudah bisa dipakai.


Selain untuk “starter” kompos, MOL bisa juga dipakai untuk “pupuk cair” dengan cara diencerkan terlebih dahulu, 1 bagian MOL dicampur 15 bagian air. Siramkan pada tanah di sekitar tanaman. Upayakan jangan mengenai batang tanaman. Untuk ”anggrek”? Karena anggrek ini tumbuh di pakis dan akarnya menonjol, saya tidak menyarankan dengan pupuk cair MOL ini. Nanti pakisnya di makan MOL dan timbul panas yang bisa mematikan anggrek. Jadi baiknya untuk tanaman yang tumbuh di tanah saja, dan tanahnya yang disiram MOL encer.


Kembali ke MOL tapai atau MOL peuyeum, saya sebut lebih bersih, karena bahannya juga bersih, dan tidak ada kesan menjijikkan. Bisa tapai singkong atau peuyeum ketan, pilih yang paling mudah didapat.


Pertama, siapkan botol plastik air minum kemasan ukuran besar (1.500 mililiter). Cukup satu botol kosong saja, tidak usah dengan tutupnya.

Kedua, beli tapai atau peuyeum, sedikit saja, soalnya butuhnya juga hanya 1 ons, lalu masukkan dalam botol tadi.
Ketiga, isikan air dalam botol yang telah berisi tapai atau peuyeum tadi. Tidak usah penuh, cukup hampir penuh.
Keempat, masukkan gula ke dalam botol yang telah diisi tapai atau peyeum dan air tadi. Bisa gula pasir atau gula merah, 5 sendok makan.
Kelima, kocok-kocok sebentar agar gula melarut.
Keenam, biarkan botol terbuka tidak ditutup selama 4 atau 5 hari. Selanjutnya, selamanya botol tidak ditutup, biar MOL-nya bisa bernafas.
Ketujuh, setelah 5 hari, dan kalau dicium akan berbau wangi alkohol, maka MOL telah bisa dipakai.
Kedelapan, kalau ingin ”beternak” MOL, maka ambillah botol kosong yang sejenis, lalu bagilah MOL dari botol yang satu ke botol kedua. Separoh-separoh. Lalu isikanlah air ke dalam botol-botol tadi sampai hampir penuh, dan kemudian masukanlah gula ke masing-masing botol dengan takaran seperti di atas. Maka kita punya 2 botol MOL. Bila ingin memperbanyak lagi ke dalam botol-botol yang lain, lakukanlah dengan cara yang sama.

Selamat mencoba, moga-moga sukses, dan buatlah kompos agar kita tidak membuang sampah ke luar rumah.

Read More..

Monday, January 21, 2008

PENGOMPOSAN ANAEROB BERBAU BUSUK?

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 21 Januari 2008
Foto: Sobirin 2008, Ketika Panen Kompos Anaerob, Tidak Bau


Oleh: SOBIRIN
Ibu Djamaludin pengelola Taman Karinda mengirim email kepada saya tentang pengomposan cara ”anaerob” yang membuat ”kapok” banyak orang karena bau. Saya memiliki 4 komposter ”anaerob” (tadinya 5) dan 1 komposter ”aerob”, memang proses berbeda, masing-masing ada plus ada minus-nya. Berikut email-email-nya.




Email dari Ibu Djamaludin untuk Mr. Sob:

Assalamu'alaikum wr.wb.

Bagaimana dengan proses pengomposan anaerob? Menurut pengalaman praktisi yang melakukan dengan komposter yang diberi kran untuk menampung air lindi, hasilnya berbau busuk, sehingga "kapok" dan berhenti. Komposter ini juga bergantung dengan penambahan mikroorganisme (cair atau padat) yang harus beli. Belum lagi gas yang keluar waktu membuka komposter untuk memasukkan sampah baru, H2S dan Metan kan termasuk gas beracun. Maka Kebun Karinda tidak menganjurkan menggunakan komposter anaerob.
Kalau saya baca di beberapa textbook, hasil dekomposisi aerob adalah kompos, gas CO2 dan H2O. Kalau anaerob hasilnya sludge, CO2 dan gas metan. Maaf, kita sharing ilmu dan pengalaman praktek.
Ada lagi alat Biopori, sistem juga anaerob tetapi tidak dibongkar hanya ditambah lapisan-lapisan sampah ditutup tanah.
Wassalam, Ibu Djamaludin



Email dari Mr. Sob untuk Ibu Djamaludin:

Yth. Ibu dan Bapak Djamaludin,
Wa’alaikum salam wr wb,

Terimakasih atas sharing-nya. Pada komposter anaerob yang saya lakukan, lubang di tanah ukuran 60cmx60cm dan dalam 100cm. Tidak ditembok. Syarat: jangan gunakan metode ini bila air tanah-nya dangkal. Mikroorganisme saya buat sendiri dari sampah dapur yang mudah membusuk. Tidak menggunakan kran air lindi, lubang ini ditutup dengan plat beton tipis. Bahan kompos dimasukkan setiap hari, bahkan yang mengandung protein juga. Saya punya 4 lubang anaerob di rumah (tadinya 5 lubang), saya happy dengan anaerob saya dan hasilnya rumah saya "zero waste".

Tentang biopori, saya juga mencoba. Namun untuk lapisan tanah yang "impervious" atau “impermeable” atau kedap air, hasilnya separoh-separoh, yaitu bagus untuk pengomposan, tetapi kurang berhasil untuk resapan air atau mengatasi banjir. Dari pengamatan saya, biopori akan sangat sukses di daerah volkanik, yang lapisan tanahnya "pervious" atau "permiable" atau lulus air.

Sekali lagi terimakasih atas sharing-nya, pengalaman yang satu dengan yang lain memang harus diperbandingkan. Bagaimanapun kita harus terus mencari terobosan-terobosan untuk menanggulangi sampah perkotaan. Ditunggu info selanjutnya.
Salam: Sobirin



Email Ibu Djamaludin untuk Mr. Sob:

Yth. Bp. Sobirin,

Masih jadi pertanyaan, waktu buka-tutup lubang untuk memasukkan sampah baru, ada bau busuk atau tidak? karena bau ini sangat berpengaruh apakah orang mau pakai metode ini atau tidak.
Terima kasih, Ibu Djamaludin.



Email Mr. Sob untuk Ibu Djamaludin:

Yth. Ibu dan Bapak Djamaludin,
Untuk menghindari bau sewaktu-waktu saya buka, maka setelah mengisi bahan kompos, ditambah MOL, diaduk. Lalu sebelum plat beton ditutupkan, bagian atasnya saya lapisi tanah 5 cm (lihat artikel Komposter Anaerob tgl 6 Juni 2007 di blog ini). Sewaktu buka tutup, tidak bau, karena ada lapisan tanah. Tetapi sewaktu diaduk memang bau. Hanya sebentar, lalu ditutup kembali setelah ada tambahan-tambahan bahan kompos dan lapisan tanah.

Setelah sekian lama, waktu dipanen tidak bau. Baunya adalah bau khas kompos biasa (lihat foto, diambil tanggal 21 Januari 2008).

Ini memang konsep pengomposan alternatif, terutama bagi rumah tangga yang banyak memproduk sampah protein, daging busuk, kulit udang, dll.

Saya memanfaatkan komposter model anaerob ini (selain aerob), karena saya memang tidak mau membuang sampah apa-pun ke luar rumah.

Terimakasih dan ditunggu berita selanjutnya Bu.
Salam: Sobirin

Read More..

Friday, January 18, 2008

SAMPAH PLASTIK KOTOR SUMBER PENYAKIT

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 18 Januari 2008
Foto: Sobirin 2007, Sampah Plastik Dicuci
dan Dijemur



Oleh: SOBIRIN

Setelah sampah rumah tangga dipisahkan antara yang organik dan bukan organik, lalu yang bukan organik dicuci bersih sebelum diproses lanjut. Sampah plastik biasanya tertempeli sambel atau makanan berminyak. Kalau tidak dicuci menjadi bau, mengundang lalat, menjadi penyakit.




Sampah plastik jangan dibakar. Membakar sampah adalah bukan solusi yang baik. Hasil bakarannya dapat membahayakan kita semua. Bau asapnya menyesakkan warga sekitar, belum lagi racun dioksin-nya bisa menyebabkan penyakit yang sulit diobati.

Jaman dulu, sebelum kantong atau bungkus plastik ini populer, hampir 100% sampah adalah organik. Kalaupun sampah dibiarkan, karena kandungannya bahan organik, maka akan terurai secara cepat menjadi penyubur tanah kembali. Beda dengan sekarang.

Lalu sampah plastik kita baiknya diapakan? Sampah plastik bisa kita daur ulang. Gelas dan botol plastik yang masih bagus bisa dijual, atau disumbangkan saja kepada pemulung.

Lembar plastik yang bagus dan warna-warni bisa dibuat cinderamata, misalnya tas pasar atau yang lainnya. Plastik yang jelek-jelek bisa dicairkan dengan melelehkannya (bukan dibakar), menjadi produk cinderamata atau barang lain.


Tetapi semuanya itu harus dalam keadaan bersih. Begitu kita memperoleh plastik dari sampah rumah tangga kita, maka prioritas harus dicuci bersih sebelum disimpan atau diproses lanjut. Sisa sambel, sayur, atau minyak goreng yang menempel di plastik akan menjadi busuk bila tidak dicuci. Bau, mengundang lalat, dan menjadi penyakit.


Setelah dicuci, masukkan dalam karung transparan dan dijemur. Karung isi plastik ini adalah bahan baku untuk membuat produk ekonomi kreatif kita. Agar karung berisi plastik ini tidak semakin banyak menumpuk, maka kita harus segera memprosesnya menjadi barang-barang bermanfaat.


Upayakan sampah rumah kita tidak di bawa ke luar rumah. Diproses saja di rumah sendiri.

Read More..

SAMPAH KOTA BANDUNG PER HARI = 1.000 GAJAH

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 18 Januari 2008
Foto: Sobirin 2005, Ketika Sampah Bandung Menumpuk


Oleh: SOBIRIN

Berat sampah Kota Bandung tiap hari setara dengan 1.000 ekor gajah. Sampah plastiknya bisa menutupi 50 lapangan sepak bola. Sampah kertasnya setara dengan bubur pulp dari 500 batang pohon. Mari kita hitung secara matematika sederhana.



Inilah gambaran sampah yang diproduksi oleh masyarakat Kota Bandung setiap harinya (angka dibulatkan, dari pengamatan sendiri dan sumber lain): sampah rumah tangga dari 3 juta penduduk Kota Bandung kurang lebih 4.500 m3/hari, sampah pasar 600 m3/hari, kawasan komersial 300 m3/hari, kawasan non komersial 300 m3/hari, kawasan industri 750 m3/hari, sampah jalanan 450 m3/hari, sampah yang dibuang ke saluran 15 m3. Jumlah produksi sampah Kota Bandung 6.915 m3 setiap harinya.

Bagaimana sampah tersebut? Kurang lebih sampah organik 65%, kertas 10%, plastik 2%, pecah belah 1,5%, kain 1%, logam 7,5%, lain-lain 13%.

Bagaimana perilaku warga terhadap sampahnya? Hasil pengamatan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat menunjukkan sebanyak 20% sampah dikumpulkan oleh tukang sampah RT untuk di bawa ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS), 25% dibuang sembarangan, 25% ditimbun ke dalam tanah, 5% dibuang ke sungai, 25% dibakar.

Ketika Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kota Bandung masih nebeng di lahan Perhutani dan sering bermasalah, ketika sarana angkutan sampah terbatas, ketika 90% warga Kota Bandung tidak peduli terhadap sampahnya, ketika rencana Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) masih menjadi konflik, maka yang terjadi adalah tumpukan-tumpukan sampah selalu saja menghiasi sudut-sudut kota. Bau aromanya jauh dari visi Kota Bandung, yaitu menjadi Kota Jasa yang Bermartabat.

Sebagai pelaku Zero Waste, saya sendiri sangat kecewa dengan warga Kota Bandung yang tidak peduli dengan sampahnya. Tiap malam masih banyak warga yang secara gerilya membawa sampah rumah tangganya, lalu dibuang di sudut-sudut jalan. Jorok sekali!

Dengan volume sampah Kota Bandung 6.915 m3 tiap harinya, dan diasumsikan berat jenis sampah 0,25 maka berat sampah Kota Bandung kurang lebih 1.750 ton tiap harinya. Bila seekor gajah ukuran sedang beratnya 1.750 kg, maka berat sampah Kota Bandung setara dengan 1.000 ekor gajah tiap harinya.

Kandungan plastiknya kurang lebih 2%, maka berat komponen sampah plastik di Kota Bandung sebanyak 35 ton tiap harinya. Diandaikan sampah plastik ini semuanya kantong plastik ukuran 75 cm x 40 cm atau 3.000 cm2 dan tiap kantong plastik tersebut beratnya 20 gram, maka 35 ton sampah plastik sama dengan 1.750.000 kantong kresek yang masing-masing berukuran 3.000 cm2, atau luas semuanya menjadi 52,50 hektar, dibulatkan 50 hektar. Sampah plastik seluas itu bisa menutupi 50 lapangan sepak bola.

Sampah kertas kurang lebih 10%, sama dengan 175 ton tiap harinya. Bila berat jenis kertas sama dengan 0,50 maka volume sampah kertas sama dengan 350.000 liter atau 350 m3. Bila 1 bagian kayu bisa menjadi 0,25 bagian kertas, maka 350 m3 kertas setara dengan 1.400 m3 kayu. Bila 1 pohon menghaslkan 3 m3 kayu, maka 1.400 m3 kayu setara dengan kurang lebih 500 pohon.

Mohon dibayangkan berat sampah Kota Bandung tiap harinya setara dengan 1.000 ekor gajah, sampah plastiknya tiap hari bisa menutupi 50 lapangan sepak bola, dan sampah kertasnya tiap hari berasal dari menebang 500 batang pohon.

Bila warga Kota Bandung tetap tidak peduli terhadap sampahnya, berarti memang tidak peduli lagi terhadap keberlanjutaan kotanya. Tunjukkanlah padaku sebuah kota, maka saya akan tahu seperti apa warga kotanya. Bagaimana matematika sampah di kota anda?

Read More..

Thursday, January 3, 2008

DRUM TAKAKURA IBU DJAMALUDIN

Kiriman email dari Kebun Karinda: djamaludinsuryo@yahoo.com
Foto: Sobirin 2006, Kebun Karinda Keluarga Djamaludin Suryo


Oleh: Sri Murniati Djamaludin, Pengelola Kebun Karinda

Mr. Koji Takakura memperoleh Hak Cipta No. P00200600206 untuk Proses Pengomposan Sampah Organik Metode Takakura Skala Rumah Tangga.
Bagaimana dengan rumah tangga lebih besar seperti asrama, warung makan, warteg, katering rumahan?



Mr. Koji Takakura telah memperoleh Hak Cipta (HAKI) No. P00200600206 untuk Proses Pengomposan Sampah Organik Metode Takakura Skala Rumah Tangga atau dikenal dengan Takakura Home Method. Melalui LSM Pusdakota Surabaya, unit komposter Takakura atau yang akrab disebut Keranjang Takakura makin dikenal tidak hanya di Surabaya tetapi telah menyebar ke berbagai kota di Indonesia. Pengomposan dengan Keranjang Takakura ini cocok untuk rumah tangga yang beranggota keluarga 4-7 orang karena berukuran sekitar 40cm x 25cm x70cm.


Bagaimana dengan rumah tangga yang lebih besar seperti asrama, atau warung makan atau warteg, katering rumahan? Kebun Karinda mengembangkan Drum Takakura.

Pada awalnya kami menampung pertanyaan-pertanyaan dari peserta pelatihan yang mempunyai masalah dengan banyaknya sampah organik yang terkumpul setiap hari. Tentu kami ingin mencarikan solusinya, sayang jika sampah organik yang banyak dibuang. Akhirnya kami temukan jawabannya yaitu dengan Drum Takakura.


Setiap pagi kami berolah raga jalan pagi melalui “pasar pagi” yaitu sekumpulan tukang sayur yang mangkal di bulevard perumahan Bumi Karang Indah di Jakarta Selatan setiap hari dari pukul 6 sampai pukul 11. Kami melihat kegiatan mereka yang menghasilkan sampah organik segar berasal dari sortiran sayuran untuk menjadi layak jual dan sisa yang tidak terjual. Jumlahnya cukup banyak, sekitar 10-12 kg dari 7 tukang sayur.


Dalam pikiran kami muncul ide untuk mengubah sampah ini menjadi “uang”. Tetapi lahan di Kebun Karinda sempit, sudah penuh dengan berbagai model bak pengomposan untuk sampah daun. Kemudian kami mencoba menggunakan drum besi bekas yang sudah dipotong menjadi dua bagian sehingga volumenya menjadi 100 L. Harga drum bekas tanpa tutup Rp.35.000, biasanya digunakan untuk pot.


Agar memenuhi syarat sebagai wadah pengomposan metode Takakura, bagian bawah dan samping diberi beberapa lubang dengan bor. Untuk alas dan “selimut” dibuatkan bantalan sabut dengan ukuran 70cm x 70cm. Dinding bagian dalam dilapisi dengan kardus yang dilipat keluar dan diikat dengan tali rafia sehingga tidak bergerak jika kompos diaduk.
Sebagai aktivator padat digunakan kompos setengah matang dari keranjang Takakura yang sudah penuh (15-20kg).

Sebelum dimasukkan drum, sampah dicacah atau dirajang dengan pisau kemudian dicampur dengan serbuk gergaji untuk menambahkan “sampah coklat” yang mengandung unsur karbon. Sampah ini tidak boleh tercampur dengan kulit udang, sisik dan isi perut ikan karena akan menimbulkan bau.


Sangat menakjubkan bahwa adonan kompos menjadi sangat panas, jika diukur dengan termometer bisa mencapai 60°C dan keluar uap air berkepul-kepul seperti kalau kita menanak nasi. Tidak ada bau busuk, yang tercium hanya bau agak asam karena proses fermentasi.


Setiap hari sampah baru dimasukkan dan diaaduk sampai ke dasar drum sehingga tercampur rata. Sampah baru akan difermentasikan oleh mikroba kompos. Volume akan menyusut karena sayuran banyak mengandung air, yang digunakan untuk minum dan penyebaran mikroba kompos.

Oksigen untuk pernapasan mikroba harus cukup, dengan cara mengaduknya setiap kali memasukkan sampah baru. Dalam waktu 30-40 hari drum sudah penuh, tetapi kompos belum seluruhnya matang karena masih ada sampah yang baru. Terlihat masih ada warna hijau di antara warna hitam kompos. Suhunya juga masih panas. Kita harus mematangkan dulu sekitar 2 minggu, sampai seluruh adonan menjadi kompos dan suhu sudah tidak hangat lagi.

Selanjutnya kompos dengan kualitas “super” bisa dipanen, harganya bisa mencapai lebih dari Rp1000/kg. Sekali panen dari satu drum Takakura bisa menghasilkan 60-70 kg kompos.


Untuk melanjutkan pembuatan kompos dari sampah baru, diambil 15 kg adonan kompos yang masih panas (sebelum dimatangkan) dan dipindahkan ke drum Takakura yang baru. Silakan mencoba, Anda bisa “ketagihan” dan bersemangat menjadi penampung sampah organik pasar pagi.

Sri Murniati Djamaludin, Pengelola Kebun Karinda
Alamat lengkap dan nomor telpon ada dalam Blog ini artikel bulan Juni 2007

Read More..

MODEL PENGELOLAAN SAMPAH ORGANIK

SKALA RUKUN TETANGGA - RUKUN WARGA
Kiriman email dari Kebun Karinda: djamaludinsuryo@yahoo.com
Foto: Sobirin 2006, Ibu Djamaludin, kompos dan tamu
-nya

Oleh: Sri Murniati Djamaludin, Pengelola Kebun Karinda
Dari pengalaman dan pembelajaran, Kebun Karinda menawarkan model bagi RT/RW yang ingin mandiri dalam pengelolaan sampah organiknya, namun untuk keberhasilannya perlu beberapa syarat:


Sampah organik yang dihasilkan oleh sebuah rumah tangga atau 1 Kepala Keluarga (KK) yang beranggota 5 orang (bapak, ibu, 2 anak dan 1 pembantu) setiap hari kurang lebih 2 kg. Kalau sebuah Rukun Tetangga (RT) terdiri dari 40 KK dan sebuah Rukun Warga (RW) terdiri dari 10 RT, maka bisa dihitung berapa jumlah sampah organik yang memerlukan pengelolaan selanjutnya, atau biasa disebut “dibuang”.

Untuk mengubah pola pikir bahwa sampah kita tanggung jawab kita yang menghasilkan, dan mengubah kebiasaan membuang sampah menjadi mengelola sampah perlu upaya yang tidak mudah dan memerlukan waktu.

Dari pengalaman dan pembelajaran, Kebun Karinda menawarkan sebuah model bagi RT/RW yang ingin mandiri dalam pengelolaan sampah organiknya, namun untuk keberhasilannya diperlukan beberapa syarat:
Pertama: Kegiatan ini diorganisir oleh pemimpin masyarakat setempat (Ketua RT/RW), dibantu sebuah tim pelaksana (Komite Lingkungan).
Kedua: Dibangun komitmen di antara seluruh warga, lingkungan bagaimana yang ingin dicapai.
Ketiga: Ada pendampingan agar kegiatan berkelanjutan, kader/motivator yang mendampingi harus sudah berpengalaman melakukan pengomposan.
Keempat: Proses pengomposan dipilih yang tidak menimbulkan bau ialah proses fermentasi.

Sampah organik rumah tangga yang segar dan lunak, sangat mudah dikomposkan. Pengomposan dapat dilakukan secara individual di setiap rumah atau secara komunal oleh Komite Lingkungan RT/RW.

Pengomposan Individual

Kebun Karinda menyarankan pengomposan dengan metode Takakura. Jika dilakukan dengan benar dalam proses tidak ada bau busuk dan higienis. Tidak memerlukan tempat luas, tetapi tidak boleh kena hujan atau sinar matahari langsung.

Sampah organik dipisahkan dari sampah anorganik (kegiatan ini disebut “memilah sampah”) kemudian dicacah menjadi berukuran 2 cm x 2 cm agar mudah dicerna mikroba kompos. Wadahnya boleh keranjang cucian isi 40 L atau lebih dikenal dengan Keranjang Takakura, ember bekas cat atau kaporit (isi 25 L), drum bekas yang dipotong menjadi 2 bagian (isi 100 L), keranjang rotan atau bambu yang isinya lebih dari 25 L untuk mempertahankan suhu kompos. Pemilihan wadah tergantung bahan yang tersedia, selera dan banyaknya sampah setiap hari.

Sampah harus dimasukkan wadah kompos setiap hari (sebelum menjadi busuk) dan diaduk sampai ke dasar wadah supaya tidak becek di bagian bawah. Pengadukan juga dimaksud untuk memasukkan oksigen yang diperlukan untuk pernapasan mikroba kompos. Jika wadah sudah penuh, kompos baru bisa dipanen jika sudah matang.

Pengomposan dimulai lagi dengan wadah lain, dengan aktivator sebagian kompos yang masih panas dari wadah pertama. Kompos setengah jadi ini bisa juga dikirim ke pengomposan komunal untuk diproses bersama-sama. Sebagian ditinggal dalam wadah untuk dijadikan aktivator. Warga akan mendapat hasil panen kompos, atau membelinya dengan harga khusus.

Pengomposan Komunal

Memerlukan bangunan tanpa dinding, atapnya bisa dari plastik terpal, daun kirai, plastik gelombang, genteng dan sebagainya tergantung dana yang tersedia. Lantainya bisa tanah, semen atau paving blok. Kita bisa menyebutnya sebagai “Rumah Kompos”.

Untuk wadah pengomposan sampah organik rumah tangga dapat dibuat bak atau kotak dari bambu, kayu, paving blok, bata dan sebagainya. Agar dapat menyimpan panas, kotak harus memiliki volume paling sedikit 500 L atau memiliki panjang 75 cm, lebar 75 cm dan tinggi 1 m. Salah satu sisinya harus bisa dibuka, untuk mengeluarkan adonan kompos jika seminggu sekali dibalik. Banyaknya kotak tergantung jumlah sampah yang akan dikelola.

Hal penting agar tempat pengomposan bersih dan tidak berbau busuk, sampah yang masuk hanya sampah orgaik saja. Warga harus memilah sampahnya di rumah masing-masing (mengikuti RUU Persampahan). Di depan rumah tidak perlu ada bak sampah, tetapi disediakan dua wadah sampah untuk sampah organik dan anorganik. Petugas pengangkut sampah mengambilnya dengan gerobak sampah yang diberi sekat. Sampah organiknya diturunkan di Rumah Kompos.

Selanjutnya oleh petugas dicacah (manual atau dengan mesin pencacah). Jika menggunakan mesin pencacah, agar sampah tidak mengeluarkan air dan untuk menambahkan unsur Karbon, dicampurkan terlebih dahulu serbuk gergaji. Jika pencacahan secara manual, serbuk gergaji dicampurkan sebelum masuk wadah kompos. Aktivator yang digunakan adalah adonan kompos yang masih aktif atau belum selesai berproses. Jika menggunakan mesin pencacah, aktivator ditambahkan sebelum masuk mesin.

Adonan kompos dari sampah organik rumah tangga jika diaduk setiap hari, akan matang dalam waktu kurang lebih 10-14 hari, namun harus distabilkan dahulu sampai suhu menjadi seperti suhu tanah, kira-kira makan waktu 2 minggu baru bisa dipanen. Jika akan dikemas diayak terlebih dahulu untuk memisahkan bagian yang kasar atau belum menjadi kompos.

Jika tanah yang tersedia cukup luas dan sampahnya cukup banyak, pengomposan dapat dilakukan dengan sistem open windrow yaitu dengan timbunan-timbunan yang memerlukan pembalikan. Kompos setengah jadi yang dikirim oleh warga dicampurkan ke adonan kompos yang sudah berusia kurang lebih 1 minggu, dan akan matang bersama-sama.

Pemanfaatan Kompos

Kompos yang dibuat melalui proses termofilik aerobik seperti ini, kualitasnya “super”. Kaya akan unsur yang diperlukan tanaman agar tumbuh subur. Harganya bisa mencapai lebih dari Rp.1000/kg.

Jika ingin ditingkatkan lagi harganya, kita bisa membibit dan menjual tanaman bunga, sayuran dan tanaman obat yang dipupuk dengan kompos buatan sendiri.

Tim Pelaksana

Dibentuk Komite Lingkungan oleh Pengurus RT/RW dan selanjutnya diperlukan peran serta warga sehingga kegiatan ini menjadi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.

Tugas dan tanggung jawab masing-masing:

1. Komite Lingkungan:
Pertama: Relawan yang peduli lingkungan, memiliki kemampuan dan waktu.
Kedua: Mengorganisasi warga dalam kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.
Ketiga: Melatih dan meningkatkan keterampilan kader sebagai motivator dan tenaga pelaksana pengomposan.
Keempat: Mengendalikan proses pengomposan agar dihasilkan kompos yang memenuhi syarat.

2. Dewan Kelurahan, Tim Penggerak PKK dan Karang Taruna
Pertama: Menjadi relawan kader lingkungan, motivator kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.
Kedua: Mengajarkan dan menggerakkan warga untuk memilah sampah.
Ketiga: Pendampingan dalam proses pengomposan di rumah tangga.

3. Petugas Pelaksana Pengomposan
Merupakan tenaga tetap yang melaksanakan proses pengomposan.

Usaha Mandiri RT/RW

Sebagai modal awal yang meliputi sarana dan prasarana, pelatihan TOT kader/motivator perlu dukungan Pemerintah melalui proposal yang meyakinkan yang disusun oleh Pengurus RT/RW. Diharapkan kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat ini nantinya dapat mandiri dari penjualan kompos dan produk-produk turunannya (tanaman hias, sayuran, tanaman obat).

Lingkungan menjadi bersih, teduh dan asri, masyarakat terjaga kesehatannya karena pengelolaan sampah merupakan bagian dari perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan inspirasi bagi Pengurus RT/RW yang ingin mandiri dalam mengurus sampah warganya. Tentunya tingkat keberhasilan akan lebih tinggi jika aparat di atasnya (Lurah, Camat Bupati/Walikota) dan instansi terkait ikut berperan serta dengan memberikan dorongan dan apresiasi.

Sri Murniati Djamaludin, Pengelola Kebun Karinda
Alamat lengkap dan nomor telpon ada dalam Blog ini artikel bulan Juni 2007

Read More..