Saturday, August 11, 2007

BUDAYA BERSIH MASIH OMONG KOSONG

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 11 Agustus 2007
Gambar: Sobirin dan Free Clip Arts, Organisasi Kompos
Oleh: Sobirin

Membuat kompos masih merupakan sekedar musiman. Begitu ada masalah persampahan di kota yang macet, sampah menumpuk di setiap sudut kota, barulah kita sadar akan konsep 3R (reduce, reuse, recycle). Begitu urusan sampah di kota beres-beres saja ketika Dinas Kebersihan Kota “sedang ingat”, kita lupa lagi akan 3R. Lalu kembali membuang sampah di mana saja.

Perilaku ini saya amati terutama di Kota Bandung. Selama ini saya mencatat lebih dari 75% warga kota masih tidak peduli akan sampahnya (malah mungkin mendekati 90%). Tetapi begitu sampah mulai menumpuk di mana-mana, mereka-mereka yang tidak peduli ini yang paling gencar protes tentang manajemen sampah kota yang katanya amburadul. Akhirnya Wali Kota Bandung, Dada Rosada, barangkali saking sebelnya, membuat ide untuk membangun pabrik sampah menjadi energi listrik (PLTSa) di Kawasan Gedebage. Ide ini langsung menuai protes dari warga yang tidak setuju.

Memang Kota Bandung ini unik: Kota Bandung berada di Cekungan Bandung yang sensitif secara alami, sebagian warganya tidak peduli akan sampahnya, ide PLTSa dari Wali Kota menuai protes, mencari TPA (tempat pengolahan sampah akhir) selalu ditolak warga di sekitar Kota Bandung, menunggu konsep Provinsi Jawa Barat tentang pengolahan sampah terpadu Cekungan Bandung ternyata tidak pernah terealisasikan, dan tiap hari produksi sampah kota tidak pernah berhenti.

Solusi paling baik adalah membangun kesadaran warga supaya mengelola sampahnya sejak di rumahnya masing-masing. Lagu lama, tapi sulit diimplementasikan. Tingkat kesadaran warga masih sangat, sangat-sangat, rendah. Banyak informasi tentang konsep mengelola sampah rumah tangga, sosialisasi cara membuat kompos, rapat-dialog-komunikasi warga tentang cara membuat kompos. Tetapi tetap saja sepulangnya pertemuan tidak dipraktekkan di rumah masing-masing. Mungkin penegakan hukum persampahan harus dibuat dan dijalankan dengan konsekwen!

Akar masalah: tidak peduli!

Akar masalahnya di mana? Setelah saya amati memang kebanyakan hampir di semua rumah tangga, para anggota keluarga “merasa” masing-masing “sangat” sibuk. Ada yang sibuk kerja, sibuk kuliah, sibuk ngajar, bahkan banyak pula yang sibuk “ngalamun”. Kesimpulan pokoknya: “Urusan sampah bukan urusan saya!”.

Kalau kita menuntut tiap rumah tangga harus mampu mengelola sampahnya sendiri, sampah rumah tidak di buang keluar rumah, maka di tiap rumah tangga harus ada manajemen sampah rumah tangga yang baik dan handal. Ada yang bertanggung jawab dan sekaligus menjadi pelaksananya. Boleh bapaknya kalau mau, atau ibunya kalau tidak sibuk. Mungkin anak sulungnya kalau tidak kuliah, atau anak bungsunya kalau mau. Kalau semua tidak mau dan tidak peduli, karena merasa sudah membayar iuran untuk mengangkut dan membuang sampah ke TPS (tempat pembuangan sampah sementara), maka jangan harap Kota Bandung akan bersih dari sampah!

Membangun budaya perlu paksaan

Tidak semua paksaan jelek. Membangun budaya kebaikan juga perlu paksaan. Paling tidak memaksa diri sendiri untuk berbuat baik. Saya alami di rumah saya sendiri. Begitu semua anggota tidak peduli terhadap sampah di rumah, maka saya “terpaksa” turun tangan sendiri. Saya angkat pembantu saya, mang Endut, menjadi asisten saya. Yah untuknya perlu sekedar “reward”, supaya tidak setengah-setengah. Tugas mang Endut adalah membantu saya menyelesaikan persampahan dan perkomposan di rumah, terutama bila saya sedang sibuk (ca'i lah!)

Pokoknya di setiap rumah harus ada yang bertanggung jawab. Juga bila diperluas di lingkungan Rukun Tetangga dan Rukun Warga perlu ada yang bertanggung-jawab. Supaya budaya bersih Kota Bandung tidak hanya omong kosong, memang perlu ada paksaan, reward and punishment, sanksi berat bila ada yang membuang sampah sembarangan. Kan sudah ada Perda K3 (Ketertiban, Kebersihan, Keindahan)!

No comments: