Monday, January 21, 2008

PENGOMPOSAN ANAEROB BERBAU BUSUK?

Bandung, Jl. Alfa No. 92 Cigadung II, 21 Januari 2008
Foto: Sobirin 2008, Ketika Panen Kompos Anaerob, Tidak Bau


Oleh: SOBIRIN
Ibu Djamaludin pengelola Taman Karinda mengirim email kepada saya tentang pengomposan cara ”anaerob” yang membuat ”kapok” banyak orang karena bau. Saya memiliki 4 komposter ”anaerob” (tadinya 5) dan 1 komposter ”aerob”, memang proses berbeda, masing-masing ada plus ada minus-nya. Berikut email-email-nya.




Email dari Ibu Djamaludin untuk Mr. Sob:

Assalamu'alaikum wr.wb.

Bagaimana dengan proses pengomposan anaerob? Menurut pengalaman praktisi yang melakukan dengan komposter yang diberi kran untuk menampung air lindi, hasilnya berbau busuk, sehingga "kapok" dan berhenti. Komposter ini juga bergantung dengan penambahan mikroorganisme (cair atau padat) yang harus beli. Belum lagi gas yang keluar waktu membuka komposter untuk memasukkan sampah baru, H2S dan Metan kan termasuk gas beracun. Maka Kebun Karinda tidak menganjurkan menggunakan komposter anaerob.
Kalau saya baca di beberapa textbook, hasil dekomposisi aerob adalah kompos, gas CO2 dan H2O. Kalau anaerob hasilnya sludge, CO2 dan gas metan. Maaf, kita sharing ilmu dan pengalaman praktek.
Ada lagi alat Biopori, sistem juga anaerob tetapi tidak dibongkar hanya ditambah lapisan-lapisan sampah ditutup tanah.
Wassalam, Ibu Djamaludin



Email dari Mr. Sob untuk Ibu Djamaludin:

Yth. Ibu dan Bapak Djamaludin,
Wa’alaikum salam wr wb,

Terimakasih atas sharing-nya. Pada komposter anaerob yang saya lakukan, lubang di tanah ukuran 60cmx60cm dan dalam 100cm. Tidak ditembok. Syarat: jangan gunakan metode ini bila air tanah-nya dangkal. Mikroorganisme saya buat sendiri dari sampah dapur yang mudah membusuk. Tidak menggunakan kran air lindi, lubang ini ditutup dengan plat beton tipis. Bahan kompos dimasukkan setiap hari, bahkan yang mengandung protein juga. Saya punya 4 lubang anaerob di rumah (tadinya 5 lubang), saya happy dengan anaerob saya dan hasilnya rumah saya "zero waste".

Tentang biopori, saya juga mencoba. Namun untuk lapisan tanah yang "impervious" atau “impermeable” atau kedap air, hasilnya separoh-separoh, yaitu bagus untuk pengomposan, tetapi kurang berhasil untuk resapan air atau mengatasi banjir. Dari pengamatan saya, biopori akan sangat sukses di daerah volkanik, yang lapisan tanahnya "pervious" atau "permiable" atau lulus air.

Sekali lagi terimakasih atas sharing-nya, pengalaman yang satu dengan yang lain memang harus diperbandingkan. Bagaimanapun kita harus terus mencari terobosan-terobosan untuk menanggulangi sampah perkotaan. Ditunggu info selanjutnya.
Salam: Sobirin



Email Ibu Djamaludin untuk Mr. Sob:

Yth. Bp. Sobirin,

Masih jadi pertanyaan, waktu buka-tutup lubang untuk memasukkan sampah baru, ada bau busuk atau tidak? karena bau ini sangat berpengaruh apakah orang mau pakai metode ini atau tidak.
Terima kasih, Ibu Djamaludin.



Email Mr. Sob untuk Ibu Djamaludin:

Yth. Ibu dan Bapak Djamaludin,
Untuk menghindari bau sewaktu-waktu saya buka, maka setelah mengisi bahan kompos, ditambah MOL, diaduk. Lalu sebelum plat beton ditutupkan, bagian atasnya saya lapisi tanah 5 cm (lihat artikel Komposter Anaerob tgl 6 Juni 2007 di blog ini). Sewaktu buka tutup, tidak bau, karena ada lapisan tanah. Tetapi sewaktu diaduk memang bau. Hanya sebentar, lalu ditutup kembali setelah ada tambahan-tambahan bahan kompos dan lapisan tanah.

Setelah sekian lama, waktu dipanen tidak bau. Baunya adalah bau khas kompos biasa (lihat foto, diambil tanggal 21 Januari 2008).

Ini memang konsep pengomposan alternatif, terutama bagi rumah tangga yang banyak memproduk sampah protein, daging busuk, kulit udang, dll.

Saya memanfaatkan komposter model anaerob ini (selain aerob), karena saya memang tidak mau membuang sampah apa-pun ke luar rumah.

Terimakasih dan ditunggu berita selanjutnya Bu.
Salam: Sobirin

No comments: