Monday, April 21, 2008

KETIKA STROBERI POT MULAI BERBUNGA

Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 22 April 2008
Foto: Sobirin 2008, Stroberi Pot Mulai Berbunga
Oleh: Sobirin
Sekitar sebulan lalu saya diberi tanaman stroberi muda sebanyak 10 polibeg oleh Henry Syarifuddin, pengusaha muda, yang juga memiliki usaha jaringan internet. Stroberi saya pindahkan dalam pot besar berisi tanah campur kompos buatan sendiri. Stroberi pot organik tumbuh subur, dan kini sedang berbunga.



Tadinya oleh Henry, yang juga teman anak saya, disarankan dipindah dalam polibeg besar, tetapi saya memilih pot saja, pot ukuran besar diameter 40 cm, tinggi 40 cm, karena kalau polibeg sering berkerut, jadi kurang rapih. Kalau pakai pot, menurut saya, menjadi sangat estetis.

Pot saya isi dengan tanah campur kompos, perbandingan 1 bagian tanah, 2 bagian kompos. Satu pot besar saya tanami 3 batang stroberi. Tiap 3 hari saya siram MOL tapai campur nenas yang telah saya encerkan. Stroberi-pun bertumbuh dengan subur. Kini stroberi sedang berbunga, warna putih, kecil, sebesar bunga melati.


Moga-moga tanaman stroberi ini cepat berbuah banyak. Ternyata berhobby pertanian rumah tangga, dengan kompos buatan sendiri, dengan siraman MOL buatan sendiri, sangat mengasyikkan. Di sela-sela kesibukan sehari-hari yang tak ada habisnya, selingan menyiram tanaman dan mengorek-ngorek tanah bisa sedikit mengendurkan pikiran kusut.

Mari kita ber-agrohome organik, mengembangkan pertanian rumah tangga organik tanpa pupuk kimia, sekalian ber-zerowaste.

Read More..

HIDUP TANPA SAMPAH TERKENDALA SIKAP FEODAL

DAGO WALKING DAY DIGELAR MINGGU PAGI
KOMPAS, Jawa Barat, 21 April 2008, YNT
Gambar: Sobirin, 2008, logo blogspot clearwaste

Kampanye hidup tanpa sampah juga dilakukan Sobirin dari DPKLTS. Ia mengampanyekan pemanfaatan sampah melalui blog di internet, yaitu http://clearwaste.blogspot.com. Dalam enam bulan, blog tersebut telah dikunjungi sebanyak 26.000 pengunjung.




Bandung, Kompas - Hidup tanpa sampah atau zero waste bukan hal mudah untuk dikampanyekan di Indonesia. Paradigma masyarakat Asia, termasuk Indonesia, yang masih feodal membuat gerakan penyadaran akan pentingnya lingkungan bersih tanpa sampah sulit diterapkan. Hal itu diungkapkan David Sutasurya, pendiri Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), Minggu (20/4) di Sasana Budaya Ganesa (Sabuga), dalam acara Dago Walking Day. Acara yang diprakarsai Republic of Entertainment itu digelar untuk memperingati Hari Bumi yang jatuh pada Selasa besok.

Dago Walking Day diikuti lebih dari 100 orang yang terdiri dari mahasiswa dan keluarga. Peserta berjalan kaki dari Taman Cikapayang di Jalan Ir H Djuanda menuju Sabuga di Jalan Tamansari. Peserta juga diajak menanam pohon. Di sepanjang perjalanan mereka diharuskan memunguti sampah. Ironisnya, pada acara itu justru tampak beberapa peserta membuang sampah berupa gelas air mineral dan dus makanan di sembarang tempat di Sabuga.


Kampanye budaya hidup bersih tanpa sampah, menurut David, memang sulit dilaksanakan sampai tingkat komunitas formal seperti rukun warga atau rukun tetangga. Penyebab utamanya adalah paradigma dalam masyarakat bahwa sampah adalah urusan pemerintah. Pemerintah pun mengambil peran terlalu besar mengurusi sampah.


Pengelolaan sampah, lanjutnya, berkaitan erat dengan budaya dan pendidikan sebuah negara. Ia mencontohkan negara seperti Singapura, China, Amerika serikat, dan negara-negara di Eropa yang secara ekonomi memiliki kesetaraan. Akan tetapi, dalam pengelolaan lingkungan, negara Eropa lebih maju karena budaya dan pendidikannya lebih baik. Menurut dia, negara di Asia terkenal sebagai negara kaya, tetapi masyarakatnya feodal. "Mereka maunya tinggal bayar dan semua beres. Budaya ini pun berlaku di Indonesia," kata David.

Menghadapi kondisi seperti itu, YPBB mengatur strategi baru dalam mengampanyekan zero waste. Strategi tersebut adalah menyasar kalangan menengah atas perkotaan melalui kegiatan Zero Waste.
Mereka mengampanyekan zero waste dalam konser musik, pesta ulang tahun, pernikahan, dan lain-lain. "Dalam acara tersebut kami menawarkan acara yang menggunakan konsep tanpa sampah atau tidak menggunakan barang yang tidak dapat didaur ulang oleh alam," papar David.

Lewat "blog"

Kampanye hidup tanpa sampah juga dilakukan Sobirin dari DPKLTS, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda. Ia mengampanyekan pemanfaatan sampah dengan melalui blog di internet, yaitu http://clearwaste.blogspot.com. Dalam enam bulan, blog tersebut telah dikunjungi sebanyak 26.000 pengunjung. Selain itu ia juga memiliki blog lingkungan www.sobirin-xyz.blogspot.com.
Sobirin memanfaatkan sampah organik untuk dijadikan kompos yang berguna bagi pertanian rumah tangga atau pertanian independen, misalnya dalam penanaman stroberi, padi dalam pot, dan kangkung untuk konsumsi domestik. Melalui pendekatan ekonomi independen rumah tangga, banyak orang tertarik mempelajari hidup tanpa sampah. (ynt)

Read More..

Friday, April 18, 2008

TUNGGU PANEN, PADI POT UNTUK DEKORASI

Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 18 April 2008
Foto: Sobirin 2008, Padi Pot untuk Dekorasi Rumah

Oleh: Sobirin

Padi pot varietas “kampung” yang saya tanam dua setengah bulan lalu telah bertumbuh dengan subur. Sayangnya padi ini belum berbuah, namanya juga jenis kampung, baru berbuah setelah 5 bulanan. Bentuknya yang indah menjadikannya sangat bagus untuk dijadikan dekorasi di dalam rumah.




S
ambil menyelam minum air. Belajar menanam padi pot, selain bisa merasakan betapa beratnya menjadi petani di sawah, juga bisa banyak belajar sifat-sifat tanaman padi. Ternyata tanaman padi pot ini juga bisa dijadikan unsur dekorasi dalam rumah, diletakkan di ruang keluarga. Cukup indah.


Tentunya peletakan padi pot di dalam rumah tidak langsung begitu saja. Apalagi kalau potnya dari ember bekas. Perlu sedikit rekayasa. Padi pot saya, atau sebenarnya padi ember saya, saya masukkan ke dalam keranjang anyaman berhias. Jadi kelihatannya rada-rada berseni.


Padi pot yang dipakai sebagai dekorasi ini tidak boleh seterusnya. Cukup 1 atau 2 hari saja untuk hiasan, kalau sudah segera dikembalikan ke luar rumah lagi agar terkena sinar matahari. Bila memiliki banyak padi pot, dan ingin menjadikannya sebagai dekorasi di dalam rumah, maka dilakukan secara bergilir, pot yang satu digantikan oleh pot yang lain.

Demikian, sambil menunggu panen, padi pot bisa dimanfaatkan untuk dekorasi di dalam rumah.

Read More..

Friday, April 11, 2008

HARUS DIMULAI DARI RUMAH TANGGA

Pikiran Rakyat, 11 april 2008, Yulistyne
Foto: Sobirin 2006, Komposter Rumah Tangga Murah Meriah

Sobirin
menilai, penanganan masalah sampah harus dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu keluarga. Setiap rumah tangga harus mampu mengelola sampahnya sendiri. "Dengan kata lain sampah rumah tidak di buang keluar rumah. Oleh karena itulah, setiap keluarga harus memiliki manajemen sampah," ujarnya.




Masalah sampah berkaitan dengan kesadaran masyarakat. Oleh karena itulah, YRP yang diprakarsai Rhenald Kasali, Hidayat, Roy Kuncoro, Moeryati Soedibyo, Aksa Mahmud, dan Martini Husaini berusaha melakukan beberapa perubahan.

Sebagai contoh pada penanganan pengelolaan sampah, YRP dengan menggabungkan sistem yang telah ada sebelumnya dapat memperoleh average secara ekonomi. "Di sini kami hendak mengatakan pada masyarakat, apabila segala sesuatu dilakukan dengan konsep yang tepat maka akan memiliki nilai tambah yang bermanfaat," ujar Roy.


Membina masyarakat dan pengembang dalam membuang sampah dan membentuk motivator-motivator lingkungan pada tataran komunitas serta bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam mengelola limbah adalah salah satu titik yang menjadi fokus perhatian YRP untuk melakukan perubahan, mengingat pengelolaan sampah berkaitan erat dengan kesadaran masyarakat.


Rhenald Kasali mengatakan awal gerakan menyadarkan masyarakat mengenai pengelolaan sampah ini tidaklah mudah. Ia sengaja memilih Desa Jati Murni menjadi percontohan karena selain bertempat tinggal di sana, ia pun menjabat sebagai ketua Badan Musyawarah (Bamus) di desa tersebut.

Dengan jabatan itu, ia memiliki pengaruh dalam menggerakkan warganya. Sehingga masyarakat yang awalnya enggan memilah dan mengelola sampah, akhirnya belajar dan terbiasa. Selain itu, warga di desa itu pun menjadi terbiasa untuk menjaga kebersihan dan keindahan lingkungannya. Maka, jalan-jalan dan rumah-rumah di desa tersebut bersih tanpa ada sampah berserakan.


Kepatuhan


Hal ini sesuai dengan salah satu kultur masyarakat pedesaan yaitu kepatuhan pada tokoh. Juniarso Ridwan, salah seorang budayawan, mengatakan bahwa kultur masyarakat yang ingin gampangnya saja bukanlah hal yang mudah untuk diubah.

Diperlukan tahapan-tahapan sosialisasi yang lebih intens, apalagi di daerah kota seperti Bandung. Ia menjelaskan untuk desa, perubahan itu akan lebih mudah dilakukan karena masyarakatnya lebih guyub dan secara komunal lebih homogen.

Selain itu, juga masih terdapat pola anutan secara vertikal yaitu patuh kepada pemimpin.
Namun, akan lain halnya dengan masyarakat di perkotaan. "Perubahan akan lebih sulit dilakukan karena selain lebih heterogen, budaya anutan pun lebih personal," ujar Juniarso.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan sosialisasi melalui pendekatan lewat kelompok-kelompok sasaran dengan pemisahan profesi, fungsi, dan strata sosial seperti ibu-ibu PKK, Karang Taruna, atau organisasi pemuda. Selain itu, ia menambahkan, untuk perkotaan diperlukan pendekatan secara komprehensif dari berbagai aspek dari berbagai arah dan sektor yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk pemulung.


Senada dengan Juniarso, Ketua MUI Jabar Miftah Faridl mengatakan kesadaran masyarakat yang masih rendah perlu ditingkatkan misalnya dengan melakukan gerakan-gerakan yang berawal dari lingkungan-lingkungan kecil seperti yang dilakukan Salman dan Daarut Tauhiid (DT).


Selain itu, menurut Miftah ada tiga hal yang harus dilakukan agar masyarakat lebih perhatian pada masalah sampah yaitu melalui pendidikan dengan cara memasukkan pelajaran mengenai kebersihan ke dalam kurikulum. Kemudian dengan menanamkan keteladanan mulai dari level terkecil yaitu keluarga, tokoh masyarakat, dan guru.

Sedangkan untuk mempertegasnya, ia mengatakan perlu ada sanksi yang mengikat bagi yang melanggar. "Karena memang ada masyarakat yang harus dipaksa dengan peraturan jika ingin masalah kebersihan dan sampah dapat diselesaikan," ujar Miftah.


Sementara itu, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin Supardiyono mengatakan secara garis besar hampir 90 persen warga Bandung tidak peduli dengan sampah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sampah yang dibuang di sembarang tempat termasuk sungai dan jalan.

"Jika diibaratkan, sampah Kota Bandung tiap harinya setara dengan berat 1.000 ekor gajah, lembaran sampah plastiknya bisa menutupi 50 lapangan sepak bola dan sampah kertasnya setara dengan bubur pulp dari 500 batang pohon," jelasnya.


Oleh sebab itu, penanganan sampah bukan lagi hal yang biasa saja, melainkan sebuah pekerjaan besar yang melibatkan berbagai aspek baik fisik maupun sosial. "Harus dipikirkan mata rantai yang dapat menjadi proses pembelajaran bagi masyarakat," ujar Sobirin.

Ia menilai, penanganan masalah sampah harus dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu keluarga. Setiap rumah tangga harus mampu mengelola sampahnya sendiri. "Dengan kata lain sampah rumah tidak di buang keluar rumah. Oleh karena itulah, setiap keluarga harus memiliki manajemen sampah," ujarnya.

Sobirin menambahkan tidak berjalannya program 3R (reduce, reuse, recycle) seperti yang diharapkan adalah karena kurangnya kepedulian dari masyarakat. Setiap orang cuma memikirkan gampangnya dan hanya melihat bagaimana sampah dibuang, tetapi asal jangan di tempat saya.

"Hal inilah yang harus diubah," ujarnya.
Dengan konsep zero waste "Sampah Bandung Tuntas 1, 2, dan 3" yang ia kemukakan, Sobirin meyakini masalah sampah dapat ditangani. Salah satu hal yang menjadi fokus perhatian pada konsep ini ialah memproses sampah sejak dari sumbernya.

Pada tuntas 1, rumah tinggal diharapkan mampu mengolah 70 persen sampah yang ia hasilkan menjadi kompos, 20 persen didaur ulang, dan 10 persen yang tersisa terpaksa dibuang ke TPA. "Dengan mengurangi jumlah sampah dari sumbernya, kuantitas sampah yang dibuang ke TPA pun akan berkurang," ujarnya. (Yulistyne)***

Read More..

Saturday, April 5, 2008

SINTANUR POT 7 HARI DAN "PAYUNG" PLASTIK

Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 6 April 2008
Foto: Sobirin 2008, Sintanur Umur 7 Hari Tinggi 4 Cm, di"payungi" plastik
Oleh: Sobirin
Menanam padi dalam pot atau ember gampang-gampang susah. Apalagi konsep awal saya hanya ingin rumah saya tidak membuang sampah ke luar rumah. Rumah ingin “zerowaste”. Sampah organik dikompos, sampah anorganik didaur ulang. Sekarang ingin bertani di rumah, coba-coba, iseng-iseng berhadiah.


Banyak jenis tanaman saya coba: kangkung darat, lobak, tomat, cabai, dan bermacam lainnya. Setahun lebih yang lalu saya mencoba menanam padi dalam polybag, hasilnya…jadi bahan berita, tamu berdatangan, wartawan bertanya ini dan itu-nya.

Saat ini sebenarnya sedang menanam padi dalam ember. Ternyata jenis padinya adalah padi kampung, yang 5 bulanan baru padinya berbuah.
Tidak apa-apa, saya sedang menunggu hasilnya sampai panaen nanti.

Ketika saya mendapat benih padi unggul varietas Sintanur dari bapak Solihin GP (mantan Sesdalopbang dan mantan Gubernur Jawa Barat), saya bertekad kembali menanam padi ini dalam pot besar. Benih dari bapak Solihin GP saya bagi-bagikan juga kepada teman. Segenggam untuk Christine di Semarang yang juga ingin menjadi petani padi ember, dan sisa terbanyak diambil pak Sajiboen (sesepuh Cirebon) untuk ditanam di sawahnya.


Dengan benih Sintanur ini, saya coba menanamnya dengan cara semai langsung, yaitu saya letakkan langsung dipot, setelah semalam sebelumnya saya rendam air tawar.


Ternyata banyak kelemahan dengan cara semai langsung ini. Waktu hujan deras, benih terpental oleh butir-butir hujan. Untunglah masih bisa diamankan. Kemudian untuk menjaga kalau hujan deras dan juga agar tidak terkena sinar matahari langsung, maka di atasnya ditutup dengan sepotong plastik yang disangga dengan lidi, ibarat di"payungi" pakai plastik. Namanya juga coba-coba, moga-moga berhasil. Teman saya Christine malah mengalami kejadian yang tidak mengenakan, ketika padi yang disemai tumbuh bagus (bukan cara semai langsung), paginya dimakan tikus, pas ketika akan dipindah ke pot…..Kasihan...., tetapi saya mengatakan kepadanya agar tidak putus asa, coba ulangi tanam lagi! Saya membayangkan petani sawah, betapa kecewanya ketika sawahnya kebanjiran atau diserang tikus.


Saya menanam padi pot Sintanur ini sebanyak 5 pot. Potnya besar, diameter 40 cm, tinggi 30 cm. Mengapa pot-nya harus besar? Tadinya saya juga bertanya-tanya, mengapa potnya harus besar. Ternyata untuk ruang perakarannya.

Menurut ahli padi organik (pak Alik Sutaryat dari Lakbok, Ciamis), padi adalah bukan tanaman air, tetapi suka air. Maka tanaman padi saya tidak digenangi air, tetapi disiram terus dengan MOL sangat encer.

Perakaran padi ini memang sangat hebat. Ketika saya mencoba memindahkan benih padi yang terpental oleh butiran hujan, waktu itu baru berumur 4 hari, daun mulai muncul 2 cm, tetapi panjang akar sudah 8 cm......dalam sekali. Sekarang tanggal 6 April 2008 padi pot saya sebanyak 5 pot berumur 7 hari, rata-rata tinggi daun 4 cm, semoga tumbuh sehat. Semoga benar-benar iseng-iseng berhadiah. Rumah "zerowaste", dan nantinya panen padi.....

Read More..

Thursday, April 3, 2008

SEMANGAT PETANI "PADI EMBER" ORGANIK

Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 3 April 2008
Foto: Sobirin 2008, Kecambah Benih Padi Unggul Umur 3 Hari

Oleh: Sobirin

Saya mendapat benih padi unggul dari bapak Solihin GP (mantan Sesdalopbang). Saya mengambil 2 genggam. Satu genggam saya kirim kepada Christine di Semarang, satu genggam untuk saya sendiri, sisanya sekantong besar diambil pak Sajiboen (sesepuh Cirebon) untuk ditanam di sawahnya.



Benih padi unggul ini produksi dari Balai Padi Sang Hyang Sri di daerah Pantura Jawa Barat. Satu kantong dibungkus rapih dalam plastik berisi benih padi unggul varietas “Sintanur”, dengan merk dagang Sang Hyang Sri. Total berat satu kantong kurang lebih 5 kilogram.


Saya hanya mengambil 2 genggam, kurang lebih seberat 2 ons, itupun lebih dari cukup untuk rencana saya bertani padi dalam pot atau ember. Dari 2 genggam tadi, satu genggam saya kirim ke Christine di Semarang, yang ingin juga bertani padi ember.


Kemudian saya membeli 5 pot besar mirip ember besar, ukuran diameter 40 cm, tinggi 30 cm. Mencari ukuran 40 cm x 40 cm sulit juga, tidak ada yang menjualnya. Pot-pot ini saya isi dengan tanah campur kompos buatan sendiri. Tanah 1 bagian, kompos 2 bagian. Kemudian saya siram MOL tapai nenas yang telah diencerkan.


Sementara itu, saya memilih benih padi unggul yang bagus (ternyata semua bagus), saya ambil 10 butir. Benih-benih ini saya rendam dalam air (saya menggunakan air tawar biasa) selama 1 hari satu malam.


Besoknya, benih yang telah direndam ini saya letakkan di atas tanah dalam pot yang telah disiapkan seperti tersebut di atas. Ini model semai langsung. Satu pot, satu benih. Sisa benih saya taburkan ke tempat persemaian lain.


Ada kelemahan dengan cara semai langsung. Ketika turun hujan deras, benih padi terpental oleh butir air hujan yang jatuh di pot. Terpaksa diperbaiki lagi letaknya, dan di atasnya ditutupi selembar plastik kecil yang ditopang dengan lidi, maksudnya agar tidak terkena hujan dan panas matahari secara langsung.


Benih direndam tanggal 29 Maret 2008, kemudian di semai langsung dalam pot tanggal 30 Maret 2008. Penyemaian diletakkan saja di atas tanah kompos. Tiap hari disiram air MOL encer dengan hati-hati sekali. Pada hari ke 3 telah berkecambah kecil, warnanya putih (lihat foto).


Saya mengatakan kepada Christine di Semarang, dan teman saya yang lain seorang petani padi organik dari Garut, pak Enday, untuk berlomba dan bertanding menanam padi ember ini. Sambil memproses sampah rumah menjadi kompos, dan rumah menjadi "zerowaste". Siapa yang panenannya paling bagus, maka dia-lah yang menang. Hadiahnya? Ya…bagaimana nanti saja.

Read More..

BATANG PADI POT SEBESAR "BALL-POINT"

Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 3 April 2008
Foto: Sobirin 2008, Padi Pot Organik Umur 2 Bulan 6 Hari

Oleh: Sobirin

Saat ini banyak yang tertarik menanam padi dalam pot atau ember, atau memakai polybag. Hasil panen cukup mencengangkan, ada yang mengatakan 3 ons per rumpun sekali panen. Barangkali para pembaca tertarik? Mari ramai-ramai menjadi "petani ember", sambil memproses sampah rumah tangga menjadi kompos. Padi pot saya berumur 2 bulan 6 hari tumbuh dengan kekar, batangnya sebesar “ball-point”….




Proses pertumbuhan padi pot ini dapat dilihat dalam blog ini edisi tanggal 7/2, lalu 23/2, kemudian 28/2, lalu tanggal 14/3, serta tanggal 23/3-2008. Dalam artikel tanggal 7/2 dapat dibaca urutan atau tahapan tentang menanam padi sebutir dalam pot.

Artikel tanggal 3 April ini memperlihatkan betapa pertumbuhan padi pot yang berumur 2 bulan 6 hari sungguh menakjubkan, lihat batangnya sebesar “ball-point”. Pemeliharaan tiap hari dirambet (rumput liar dicabut), didangir (tanah diaduk pelan-pelan jangan sampai merusak akar), dan disiram MOL tapai campur nenas yang telah diencerkan. Pengencerannya yaitu 1 bagian MOL ditambah 15 bagian air.


Ternyata padi yang ditanam saya ini dari varietas “kampung”, padi tradisional yang baru bisa dipanen ketika umurnya 5 bulan-an. Tidak apa-apa, saya juga sedang mencoba lagi menanam padi jenis unggul, menggunakan kompos dan MOL buatan sendiri. Sampah rumah menjadi kompos, rumah menjadi "zero waste", dan juga menikmati panen padi.

Read More..