Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 17 Februari 2008
Foto: Sobirin, 2008, Peralatan Pengaduk Kompos
Oleh: Sobirin
Christine seorang ibu rumah tangga dari Semarang mencoba membuat MOL dan kompos dengan membaca blog ini dan juga tanya jawab melalui shout-box dan e-mail. Ternyata bisa dan mudah. Semoga Christine menyebar-luaskan pengalamannya kepada teman-teman. Berikut e-mail tanya jawab Christine dengan saya.
Bpk. Sobirin………
Hallo Christine………
Setelah merasakan asiknya panen kompos perdana dari keranjang takakura, saya jadi lebih bersemangat lagi membuat kompos.
Bagus, semoga terus konsisten.
Setiap hari saya membeli sayur yang tidak laku dari seorang tukang sayur langganan. Jumlahnya tidak banyak, rata-rata 5 ikat sayur per hari. Kondisi sayur juga tidak menentu, kadang layu, kadang kering tapi kadang juga sudah setengah busuk dan berair.
Sebaiknya dicuci atau dibilas dengan air bersih dulu untuk menghilangkan "telor belatung" bawaan dari tukang sayur. Sayuran yang setengah membusuk dan berair sebaiknya dipisahkan saja. Bisa ditanam langsung ke dalam tanah, biar berproses sendiri secara anaerob menjadi kompos langsung bercampur dengan tanah.
Sayuran tersebut langsung saya potong-potong 3 cm-an, saya campur dedak dan saya masukkan ke komposter takakura. Dedak bagus, sebagai pengganti bahan coklatan. Tiga hari pertama “normal”, tapi hari berikutnya suhu jadi panas sekali. Hari-hari berikutnya jadi semakin parah, begitu keranjang dibuka wwuuussssh…!!! Asap mengepul dan tercium bau lembab dan busuk, tdk lama kemudian pasukan lalat menyerbu.
Saya juga pernah mengalami seperti Christine. Waktu itu MOL saya mengandung "protein" karena dari MOL sampah dapur. Umumnya MOL sampah dapur berperilaku demikan. Juga terlalu basah. Tambahkan dedak saja lagi. Dedak halus lebih bagus.
Sebagian sisi doos juga mulai basah.
Doos yang saya pakai juga demikian, terutama kalau kandungan airnya "terlalu" banyak. MOL juga memakan doos. Lalu saya pakai keranjang plastik yang berbolong-bolong kecil-kecil. Keranjang plastik untuk cucian. Bolong2nya jangan yg gede2. Langsung, tidak pakai lapisan doos.
Hari berikutnya lagi mulai terlihat “penghuninya” alias belatung; banyak banget!!!
Jijik ya! Ini bisa terjadi karena akibat MOL yang banyak proteinnya. Bisa juga ada sisa-sisa "telor" belatung dari tukang sayur. Pada minggu ke dua, ketika panas, belatung juga mati. Kalau tidak mau ada belatung, tambahkan bahan coklatan atau dedak. Perbandingan bahan hijauan 75% dan coklatan 25%. MOL upayakan tidak ada kandungan bahan protein. MOL tapai saja dicobakan.
Saya sempat mau mundur dan berhenti berkompos tapi “sensasi” panen kompos perdana telah membuat saya terus melanjutkannya. Lalu saya buka lagi Blog Bapak dan saya temukan tulisan “GAGAL MEMBUAT KOMPOS?” yang semakin menguatkan saya untuk terus mencoba.
Jangan putus asa, coba berkreasi terus. Keberhasilan kreasi sendiri akan lebih bersensasi.
Sekarang kompos saya sudah cukup “aman dan terkendali”. Cuma masalah belatung saja yang masih tetap timbul (mungkin karena saya tidak menyortir sayuran).
Sebaiknya bahan sayur yang membusuk dipisah saja. Tanam ditanah begitu saja juga akan jadi kompos anaerob. Dedaunan segar dicuci dulu, baru kemudian dipotong kecil-kecil 3 cm-an. Tambah daun-daun kering coklatan yang juga dipotong kecil-kecil. Selalu diaduk2, tambah MOL yang tidak berprotein, bisa MOL tapai. Jangan basah kuyup, cukup lembab saja. Semoga belatung tidak ada.
Sekarang saya sedang mencoba berkompos dengan cara Bapak, yaitu dengan MOL tapai. Sudah berjalan 10 hari-an; suhu hangat dan kelihatan masih baik-baik saja.
Bagus. MOL tapai tentu tidak menjijikkan.
Saya ada beberapa pertanyaan tentang pembuatan kompos dengan MOL ini: Apakah hasil akhir kompos juga berbentuk seperti butiran tanah atau tetap seperti potongan-potongan daun? (kompos saya coklat tua tapi bentuknya masih utuh, tidak hancur).
Warnanya kehitaman. Seperti butiran tanah. Kalau ingin lebih halus, bisa diayak.
Kompos saya keluar air coklat kehitaman dan agak berbau asam. Apa wajar?
Ini pasti kebanyakan cairan MOL. Kalau dipersampahan, cairan tadi namanya "air lindi". Ada juga yang memanfaatkan "air lindi" ini untuk MOL juga. Seharusnya tidak sampai keluar cairan ini. MOLnya dikurangi. Aduk selalu, supaya udara atau oksigen ikut berproses.
Kalau saya tidak menyortir sayuran (sayur busuk tetap saya masukkan) apakah bisa tumbuh belatung? Cara mengatasinya bagaimana?
Ya, bisa, ada sisa "telor" belatung dari pasar. Pisahkan yg busuk. Tanam saja yang busuk langsung ke dalam tanah. Biar berproses menjadi kompos secara anaerob dan langsung bercampur dengan tanah.
Kalau keranjang kompos saya letakkan di lantai, apakah bagian bawahnya perlu diganjal untuk sirkulasi udara?
Ya, keranjang di ganjal pakai bata saja, agar ada siskulasi juga dari bawah. Perlu dikontrol, bila menetes cairan lindi, pasti kebanyakan MOL. Jangan lupa bagian atas "kompos yang sedang kita buat" supaya ditutup dengan karung bolong-bolong, untuk mengurangi penguapan.
Apakah kertas koran atau tissue bisa menggantikan daun kering? (beberapa hari ini hujan seharian sehingga tdk ada daun kering).
Jangan, kertas koran mengurai lama dan ada bahan kimia dari huruf-huruf tulisan yang tercetak di koran. Tissue juga jangan. Biasanya tissue digunakan untuk membersihkan sesuatu yang kotor. Baiknya tissue jangan dipakai, disamping itu mengurainya juga lama. Daun coklat tidak perlu yang kering benar. Lembab boleh asal tua berwarna coklat. Bisa diganti dedak halus. Atau "beli" adun tua coklat dari tukang sapu jalanan, sekalian suruh motong2 kecil2. Ada teman yang ”beli” 1 kg daun-daun coklat kering dipotong-potong 1 kg = Rp 80,-. Satu karung 40 kg = Rp 3.000,-. Tapi konsep kita kan tidak “membeli” apapun.
Apakah MOL bisa kadaluarsa? MOL selalu saya ternakkan tapi pemakaiannya belum banyak karena tanaman saya tidak banyak dan pengomposan saya masih dengan takakura.
Tidak kadaluarsa, asal botol tidak tertutup. Tulisi dengan spidol "ini MOL", nanti dikira minuman "extrajos". Kalau berlebihan, encerkan saja dan siramkan ke rerumputan. Sebaiknya Christine mulai ber-hobby tanam-menanam dalam pot, agar kompos dan MOL lebih bernilai tambah.
Itulah sedikit “curhat” dan beberapa pertanyaan saya tentang kompos dengan MOL tape. Saya sangat berharap Pak Sobirin bersedia membantu.
Semoga sukses. Jangan takut melakukan berkreasi "trial and error", catat semua peristiwa yang dialami. Baiknya Christine membuat BLOG yang memuat pengalaman Christine. Sebar-luaskan pengalaman Christine kepada tetangga sekitar dan handai tolan. Sukses selalu! Tulisan e-mail dng Christine ini saya masukkan ke BLOG kita ini.
Terima kasih,
Christine
Terimakasih kembali,
Sobirin
Catatan: alat pengaduk kompos, lihat foto.
Foto: Sobirin, 2008, Peralatan Pengaduk Kompos
Oleh: Sobirin
Christine seorang ibu rumah tangga dari Semarang mencoba membuat MOL dan kompos dengan membaca blog ini dan juga tanya jawab melalui shout-box dan e-mail. Ternyata bisa dan mudah. Semoga Christine menyebar-luaskan pengalamannya kepada teman-teman. Berikut e-mail tanya jawab Christine dengan saya.
Bpk. Sobirin………
Hallo Christine………
Setelah merasakan asiknya panen kompos perdana dari keranjang takakura, saya jadi lebih bersemangat lagi membuat kompos.
Bagus, semoga terus konsisten.
Setiap hari saya membeli sayur yang tidak laku dari seorang tukang sayur langganan. Jumlahnya tidak banyak, rata-rata 5 ikat sayur per hari. Kondisi sayur juga tidak menentu, kadang layu, kadang kering tapi kadang juga sudah setengah busuk dan berair.
Sebaiknya dicuci atau dibilas dengan air bersih dulu untuk menghilangkan "telor belatung" bawaan dari tukang sayur. Sayuran yang setengah membusuk dan berair sebaiknya dipisahkan saja. Bisa ditanam langsung ke dalam tanah, biar berproses sendiri secara anaerob menjadi kompos langsung bercampur dengan tanah.
Sayuran tersebut langsung saya potong-potong 3 cm-an, saya campur dedak dan saya masukkan ke komposter takakura. Dedak bagus, sebagai pengganti bahan coklatan. Tiga hari pertama “normal”, tapi hari berikutnya suhu jadi panas sekali. Hari-hari berikutnya jadi semakin parah, begitu keranjang dibuka wwuuussssh…!!! Asap mengepul dan tercium bau lembab dan busuk, tdk lama kemudian pasukan lalat menyerbu.
Saya juga pernah mengalami seperti Christine. Waktu itu MOL saya mengandung "protein" karena dari MOL sampah dapur. Umumnya MOL sampah dapur berperilaku demikan. Juga terlalu basah. Tambahkan dedak saja lagi. Dedak halus lebih bagus.
Sebagian sisi doos juga mulai basah.
Doos yang saya pakai juga demikian, terutama kalau kandungan airnya "terlalu" banyak. MOL juga memakan doos. Lalu saya pakai keranjang plastik yang berbolong-bolong kecil-kecil. Keranjang plastik untuk cucian. Bolong2nya jangan yg gede2. Langsung, tidak pakai lapisan doos.
Hari berikutnya lagi mulai terlihat “penghuninya” alias belatung; banyak banget!!!
Jijik ya! Ini bisa terjadi karena akibat MOL yang banyak proteinnya. Bisa juga ada sisa-sisa "telor" belatung dari tukang sayur. Pada minggu ke dua, ketika panas, belatung juga mati. Kalau tidak mau ada belatung, tambahkan bahan coklatan atau dedak. Perbandingan bahan hijauan 75% dan coklatan 25%. MOL upayakan tidak ada kandungan bahan protein. MOL tapai saja dicobakan.
Saya sempat mau mundur dan berhenti berkompos tapi “sensasi” panen kompos perdana telah membuat saya terus melanjutkannya. Lalu saya buka lagi Blog Bapak dan saya temukan tulisan “GAGAL MEMBUAT KOMPOS?” yang semakin menguatkan saya untuk terus mencoba.
Jangan putus asa, coba berkreasi terus. Keberhasilan kreasi sendiri akan lebih bersensasi.
Sekarang kompos saya sudah cukup “aman dan terkendali”. Cuma masalah belatung saja yang masih tetap timbul (mungkin karena saya tidak menyortir sayuran).
Sebaiknya bahan sayur yang membusuk dipisah saja. Tanam ditanah begitu saja juga akan jadi kompos anaerob. Dedaunan segar dicuci dulu, baru kemudian dipotong kecil-kecil 3 cm-an. Tambah daun-daun kering coklatan yang juga dipotong kecil-kecil. Selalu diaduk2, tambah MOL yang tidak berprotein, bisa MOL tapai. Jangan basah kuyup, cukup lembab saja. Semoga belatung tidak ada.
Sekarang saya sedang mencoba berkompos dengan cara Bapak, yaitu dengan MOL tapai. Sudah berjalan 10 hari-an; suhu hangat dan kelihatan masih baik-baik saja.
Bagus. MOL tapai tentu tidak menjijikkan.
Saya ada beberapa pertanyaan tentang pembuatan kompos dengan MOL ini: Apakah hasil akhir kompos juga berbentuk seperti butiran tanah atau tetap seperti potongan-potongan daun? (kompos saya coklat tua tapi bentuknya masih utuh, tidak hancur).
Warnanya kehitaman. Seperti butiran tanah. Kalau ingin lebih halus, bisa diayak.
Kompos saya keluar air coklat kehitaman dan agak berbau asam. Apa wajar?
Ini pasti kebanyakan cairan MOL. Kalau dipersampahan, cairan tadi namanya "air lindi". Ada juga yang memanfaatkan "air lindi" ini untuk MOL juga. Seharusnya tidak sampai keluar cairan ini. MOLnya dikurangi. Aduk selalu, supaya udara atau oksigen ikut berproses.
Kalau saya tidak menyortir sayuran (sayur busuk tetap saya masukkan) apakah bisa tumbuh belatung? Cara mengatasinya bagaimana?
Ya, bisa, ada sisa "telor" belatung dari pasar. Pisahkan yg busuk. Tanam saja yang busuk langsung ke dalam tanah. Biar berproses menjadi kompos secara anaerob dan langsung bercampur dengan tanah.
Kalau keranjang kompos saya letakkan di lantai, apakah bagian bawahnya perlu diganjal untuk sirkulasi udara?
Ya, keranjang di ganjal pakai bata saja, agar ada siskulasi juga dari bawah. Perlu dikontrol, bila menetes cairan lindi, pasti kebanyakan MOL. Jangan lupa bagian atas "kompos yang sedang kita buat" supaya ditutup dengan karung bolong-bolong, untuk mengurangi penguapan.
Apakah kertas koran atau tissue bisa menggantikan daun kering? (beberapa hari ini hujan seharian sehingga tdk ada daun kering).
Jangan, kertas koran mengurai lama dan ada bahan kimia dari huruf-huruf tulisan yang tercetak di koran. Tissue juga jangan. Biasanya tissue digunakan untuk membersihkan sesuatu yang kotor. Baiknya tissue jangan dipakai, disamping itu mengurainya juga lama. Daun coklat tidak perlu yang kering benar. Lembab boleh asal tua berwarna coklat. Bisa diganti dedak halus. Atau "beli" adun tua coklat dari tukang sapu jalanan, sekalian suruh motong2 kecil2. Ada teman yang ”beli” 1 kg daun-daun coklat kering dipotong-potong 1 kg = Rp 80,-. Satu karung 40 kg = Rp 3.000,-. Tapi konsep kita kan tidak “membeli” apapun.
Apakah MOL bisa kadaluarsa? MOL selalu saya ternakkan tapi pemakaiannya belum banyak karena tanaman saya tidak banyak dan pengomposan saya masih dengan takakura.
Tidak kadaluarsa, asal botol tidak tertutup. Tulisi dengan spidol "ini MOL", nanti dikira minuman "extrajos". Kalau berlebihan, encerkan saja dan siramkan ke rerumputan. Sebaiknya Christine mulai ber-hobby tanam-menanam dalam pot, agar kompos dan MOL lebih bernilai tambah.
Itulah sedikit “curhat” dan beberapa pertanyaan saya tentang kompos dengan MOL tape. Saya sangat berharap Pak Sobirin bersedia membantu.
Semoga sukses. Jangan takut melakukan berkreasi "trial and error", catat semua peristiwa yang dialami. Baiknya Christine membuat BLOG yang memuat pengalaman Christine. Sebar-luaskan pengalaman Christine kepada tetangga sekitar dan handai tolan. Sukses selalu! Tulisan e-mail dng Christine ini saya masukkan ke BLOG kita ini.
Terima kasih,
Christine
Terimakasih kembali,
Sobirin
Catatan: alat pengaduk kompos, lihat foto.
3 comments:
ass.wr.wb.
pak, saya ingin menanyakan masalah pengolahan sampah khususnya pengomposan dan pembuatan EM/MOL.
saya ingin menghubungi bapak via email, tapi email bapak kok tidak tercantum di hal kontak.
kalau bapak berkenan, saya minta email address bapak ya...
kalau bapak berkenan lagi, bisa dikirim di : ddhekk_ddiss@yahoo.com
terima kasih ya pak....
-asti-
saya sangat tertarik dengan yang dilakukan oleh mbak christine..
boleh minta alamat e-mail mr sob tidak?
ass. WRWB.
Bagus. dan saya pun ingin mencoba membuat kompos seperti mbak christine
Saya kemaren kirim e-amil ke clearwaste@qmail.com, itu alamat mr. sob bukan, kalo bukan bisa minta alamatnya tdk? kalo bisa mohon dikirim ke "mamangfile@yahoo.com
Post a Comment